Pages

Friday, November 11, 2011

Masjid Angke Al Anwar

Sebagai kota yang telah ada sejak 1427, Jakarta pastinya memiliki banyak tempat bersejarah yang menarik. Salah satunya adalah sebuah masjid tua yang dikenal dengan Masjid Angke.
Sama seperti namanya, Masjid Angke terletak di Kampung Angke, Jalan Tubagus Angke, Jakarta Barat. Masjid yang arsitekturnya campuran antara arsitektur Jawa, Cina, dan Eropa ini ditetapkan menjadi cagar budaya sejak 1972 lalu. Tapi, menurut sejarawan asal Belanda Dr. de Haan dalam bukunya Oud Batavia menyebut masjid yang kini dikenal sebagai Masjid Al-Anwar ini didirikan pada hari Kamis 26 Sya'ban 1174 H atau sama dengan 2 April 1761 M oleh wanita keturunan Cina Muslim kaya dari Tartar yang menikah dengan pangeran dari Banten. Kisah itu didapatkan oleh de Haan melalui cerita dari mulut ke mulut penduduk sekitar Angke ketika itu. (Urbanesia/www.al-shia.org)

Masjid Angke
Masjid Angke Al Anwar persisnya terletak di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Gang Masjid I RT 01/05, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Kalangan masyarakat setempat mengenalnya dengan nama Masjid Jami’ Angke. Masjid itu tinggalan orang Tionghoa yang hidup di Batavia pada zaman Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), kongsi dagang India Timur.
Masjid itu bercorak perpaduan antara unsur Jawa dan Tionghoa, tampak pada pintu masuk dan ujung atap yang mirip klenteng. Masjid itu konon didirikan oleh Gouw Tjay yang masuk Islam pada 1526. Masjid itu tak dapat dipisahkan dari pejuang dan pendiri Jakarta seperti Fatahillah dan Tubagus Angke. Konon, dulu di ambang pintu masuk itu terpampang jelas nama Al-Mubarak. (Kompasiana)
Masjid Angke mudah dicapai oleh minibus dari Museum Fatahillah Kota. Ia adalah satu-satunya masjid di Jakarta yang masih bertahan. Bangunan masjid ini ada dua lantai, yang bercirikan khas arsitektur Jawa.
Flashback
Ketika bahu membahu membantu pasukan Pangeran Fatahillah menggempur VOC di Pelabuhan Sunda Kelapa, sama halnya dengan orang-orang Mataram sebelumnya, orang-orang dari Kasultanan Banten pun memilih menetap di Batavia. Salah seorang yang tidak bisa lepas dari peristiwa itu, adalah Tubagus Angke, seorang bangsawan Banten bergelar pangeran yang kemudian wafat di Batavia. Dan keberadaan masjid yang dahulu disebut Masjid Angke saja ini tak terlepas dari keberadaan Tubagus Angke.
Nama Angke punya sejarah unik. Pemberontakan Cina pada 1740 terjadi pada masa Gubernur Jenderal Adrian Valekenier (1737-1741). Jumlah imigran Cina yang kian membengkak menimbulkan berbagai ketegangan. Valekenier pusing, sehingga pada musim semi 1740, ia mengimigrasi paksa mereka ke Sri Lanka. (Kompasiana)
Pada sekitar tahun 1740 warga keturunan Cina yang bersitegang dengan Gubernur Jenderal Batavia, Jendral Valekenier, menyusup, dan menyerang Batavia. Hal ini membuat Valekenier memerintahkan untuk melakukan pembunuhan massal terhadap orang-orang Cina di Batavia. (Urbanesia)
Masjid Angke
Karena sikap kasar serdadu Belanda, meletus pemberontakan, dengan dampak akhir pembantaian orang Cina. Mayatnya dibuang ke Kali Angke. Dari sinilah, timbul nama Angke! “Ang” berasal dari bahasa Cina yang berarti “merah”, sedangkan “ke” dari kata “bangke” (bangkai). Orang Tionghoa yang lolos bersembunyi di bawah perlindungan orang Banten. Kemudian Pemerintah Belanda mengetahui sehingga Valekenier harus ditangkap dan dipenjara pada 1742. Saat terjadi pembunuhan tersebut, sebagian besar orang Cina bersembunyi dan dilindungi oleh orang-orang Islam (Banten) dan hidup berdampingan hingga salah satu diantara mereka menikah dan mendirikan Masjid Angke ini.
Ketika masa kemerdekaan tahun 1945, masjid yang saat itu tidak tercium oleh Belanda ini juga digunakan oleh para pemuda untuk mengadakan rapat-rapat rahasia agar tidak diketahui oleh pihak Belanda. Di sini juga para ulama Angke sering berkhutbah untuk menyemangati para pemuda untuk terus berjuang melawan Belanda yang saat itu menjajah Indonesia.
Pada era perang kemerdekaan, Masjid Angke dijadikan markas pejuang. Di situ, sering diadakan pertemuan rahasia untuk menyusun strategi melawan Belanda. Bahkan, khutbah pun diarahkan untuk mendorong perjuangan mempertahankan kemerdekaan pada kira-kira 1945-1949.
Dari masjid itulah, para ulama menggembleng semangat jihad para pejuang yang disebar ke seluruh Jakarta, terutama Jakarta Barat. Begitu rapi kegiatan itu dilakukan, sehingga Belanda tak mampu menciumnya. Dan: selamatlah Masjid Angke dari penyerbuan oleh Belanda.
Masjid Angke
Saat dibangun, masjid ini berada di tengah-tengah kampung yang bernama Kampung Goesti yang dihuni orang Bali di bawah pimpinan Kapten Goesti Ketut Badudu. Menurut sejarawan Jerman yang bernama Heuken dalam buku Historical Sights of Jakarta, kampung itu didirikan pada 1709. Saat itu banyak orang Bali yang tinggal di Batavia untuk dijadikan sebagai budak, masuk dinas militer karena lihai dalam menggunakan tombak, serta bercocok padi. Selama 10 tahun orang Bali menjadi penduduk kedua terbanyak di Batavia. Tapi kini, masjid yang bangunan utamanya hanya selebar 13 x 13 m ini berada di tengah-tengah penduduk padat warga Jakarta. (Urbanesia)
Present
Walaupun berukuran kecil—15 x 15 m2 berdiri di atas lahan 200 m2—masjid ini adalah salah satu masjid bersejarah yang dilindungi oleh UU Monumen (Monumen Ordonantie Stbl) Nomor 238 tahun 1931, juga diperkuat oleh SK Gubernur KDKI Jakarta tanggal 10 Januari 1972. Bangunannya cukup menarik karena memperlihatkan perpaduan dari berbagai gaya arsitektur. Ada gaya Banten kuno dan Cina, juga pengaruh Hindu. (Kompasiana/www.al-shia.org)
Atapnya berbentuk cungkup bersusun dua model arsitektur khas Cina, dengan ujung cungkup (nok) berbentuk kuncup melati, tertempel bekas horn sirine kecil. Bentuk jurai/sopi-sopi di masing-masing atapnya membengkok di bagian ujung bawah. Dan di keempat ujung jurainya, bercuping seperti bunga terompet. Bentuk list-plang kayunya bermotif ombak dengan bonggol kuncup melati terbalik di setiap sudutnya. Sedang model kusen pintu berdaun dua, seperti lumpang terbalik bermotif ukir-ukiran di bagian bawah dan atas pintu.
Uniknya, kita sekilas bisa menilik sejarah kota Jakarta melalui makam-makam tua yang ada di belakang masjid. Beberapa ulama dan keturunan kesultanan Banten dikubur di sana; Syekh Jafar, Sarifah Mariyam, dan Pangeran Tubagus Anjani. Pada tahun 1856 Pangeran Syarif Hamid, seorang Sultan dari Pontianak dibuang ke Batavia (sekarang Jakarta) oleh Belanda. Ketika ia meninggal ia dikuburkan di depan masjid pada tanggal 17 Juli 1858. Makamnya terbuat dari batu pualam dan terdapat tulisan yang menyebutkan usia sultan yakni meninggal dunia dalam usia 64 tahun 35 hari. Karena itulah Masjid Angke menjadi salah satu situs ibadah yang unik dan sekaligus menjadi tempat berziarah bagi orang-orang zaman dulu.
Masjid Angke
Namun nisan yang konon tertua adalah nisan Nyonya Chen, seorang wanita keturunan Tionghoa Muslim, dan kini disimpan di samping masjid. Orang dari Pontianak sering mengunjungi makam beliau dan banyak dari mereka telah memutuskan untuk tinggal di Angke.
Bangunan Masjid Angke juga memiliki tiga bagian yang unik. Yang pertama bagian kaki berbentuk massif, setinggi 1,1 m. Bentuk ini mengingatkan pada bangunan sebelum Islam datang ke Indonesia. Ada lima tangga di depan pintu timur, selatan, dan utara.
Bagian kedua ialah badan bangunan. Jendelanya berteralis dengan gaya mirip rumah Belanda zaman dulu. Ada empat sokoguru segi empat dengan kayu penyangga berukir kepala ular. Mimbarnya segi empat dan terbuat dari batu bata, yang modelnya mengingatkan pada gaya Eropa dan Moor.
Bagian ketiga atap bertingkat dua dengan lorong yang berteralis mirip jendela. Di tingkat dua, muadzin biasa mengumandangkan adzan. Puncak atap berbentuk buah nanas.
Kaligrafi Arab berupa kutipan ayat Al-Qur’an, hadits Nabi SAW, dan kalimat syahadat memenuhi bagian dinding masjid. Bahkan, ada catatan dalam bahasa Arab, yang berarti, “Kalimat ini tertera pada batu tulis sebagai peringatan Masjis Al-Mubarak, hari Kamis, 26 hari bulan Sya’ban, tahun 1174 dari Hijrah Nabi.”

(Enjoy Jakarta/Kompasiana/www.al-shia.org/Urbanesia)