Salah satu dari enam istana kepresidenan Republik Indonesia. Istana
Merdeka terletak di Jalan Merdeka Utara menghadap Medan Merdeka atau lebih
populer dengan sebutan Lapangan Monas. Istana Merdeka berada dalam satu
pekarangan dengan Istana Negara dalam posisi bertolak belakang sehingga sering
disebut Istana Kembar. Istana Merdeka
adalah tempat resmi kediaman dan kantor Presiden Indonesia yang terletak satu
kompleks dengan Istana Negara dan Bina Graha.
Istana Merdeka mendapat tempat khusus di hati rakyat karena bernama
Merdeka—perlambang kemenangan perjuangan bangsa. Nama itu menandai berakhirnya
penjajahan di Indonesia dan mulainya pemerintahan oleh bangsa sendiri.
Istana Merdeka |
Istana dengan luas sekitar 2.400 m² ini dibangun pada masa pemerintahan
Gubernur Jenderal J.W. van Lansberge tahun 1873 dalam kaveling yang sama dengan
Istana Rijswijk yang mulai sesak.
Awalnya bernama Istana Gambir, Istana yang diarsiteki Drossaers ini pada awal
masa pemerintahan Republik Indonesia sempat menjadi saksi sejarah
penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat oleh
Pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949. Waktu itu RI diwakili oleh Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, sedangkan kerajaan Belanda diwakili A.H.J. Lovink, wakil
tinggi mahkota Belanda di Indonesia. (Istana Kepresidenan RI/Wikipedia)
Dalam upacara yang mengharukan itu bendera Belanda diturunkan dan
Bendera Indonesia dinaikkan ke langit biru. Ratusan ribu orang memenuhi tanah
lapangan dan tangga-tangga gedung ini diam mematung dan meneteskan air mata
ketika bendera Merah Putih dinaikkan. Tetapi, ketika Sang Merah Putih menjulang
ke atas dan berkibar, meledaklah kegembiraan mereka dan terdengar teriakan:
Merdeka! Merdeka! Sejak saat itu Istana Gambir dinamakan Istana Merdeka.
Sehari setelah pengakuan kedaulatan oleh kerajaan Belanda, pada 28
Desember 1949 Presiden Soekarno beserta keluarganya tiba dari Yogyakarta dan
untuk pertama kalinya mendiami Istana Merdeka. Peringatan Hari Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus di Istana Merdeka pertama kali diadakan pada
1950. Tercatat selain Presiden Soekarno, yang mendiami istana ini adalah
Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Istana Merdeka: Upacara Penyerahan Kedaulatan Indonesia-Belanda |
Pada masa pemerintahan Belanda, kediaman resmi komisaris jenderal
adalah gedung yang disebut Rumah Raffles. Namun gubernur jenderal G.A.G.P.
Baron van der Capellen, memilih rumah lain milik warga Belanda biasa bernama
van Braam. Pada tahun 1869 Gubernur Jenderal Pieter Mijer mengajukan permohonan
untuk membangun sebuah hotel baru dibelakang Hotel Gubernur Jenderal di Rijswijk (bertolak belakang dengan rumah
van Braam). Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal James Lindon permohonan
ini dipenuhi pada 25 Maret 1873, saat keluar keputusan untuk membangun sebuah
istana dekat Hotel Rijswijk, pada
jalan yang menghadap Koningsplein (Lapangan Monas). Maka dimulailah pembangunan
gedung istana ini di bawah pengawasan arsitek Mr. Drossares. Pembangunan
dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum dengan pemborong Firma Prossacra yang menelan biaya
sebesar f 360.000. Selesai tahun 1879 masa Pemerintahan Gubernur Jenderal Johan
Willem van Landsberge dan sebagai tempat perayaan pernikahan Raja Willem II
dengan Puteri Emma Von Waldeck Pyrmont. Sejak itulah istana di Koningsplein ini menjadi tempat kediaman
resmi gubernur jenderal di samping kediaman resmi lainnya di Buitenzorg
(Bogor). (jakarta.go.id)
Istana ini memiliki sederetan nama antara lain Istana Koningsplein, Istana Gambir, Istana
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Istana Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Istana
Van Mook, Istana Saiko Syikikan, dan terakhir Istana Merdeka. Sebelum dinamakan
Istana Merdeka, gedung ini bernama Istana Gambir atau Koningsplein Paleis dipakai sebagai Istana Wakil Tinggi Mahkamah Belanda.
Pemberian nama itu mempunyai latar sejarah tersendiri. Pada tanggal 27
Desember 1949 Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat.
Acaranya berlangsung di dua tempat: di Istana Gambir, Jakarta, Indonesia, dan
Istana Dam, Amsterdam, Belanda. Di Istana Gambir, Wakil Tinggi Mahkota Belanda
A.H.J. Lovink melakukan upacara itu di hadapan Sri Sultan Hamengku Buwono IX
sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia.
Istana Merdeka: Istana Merdeka Tahun 1960 |
Karena perbedaan waktu antara Amsterdam dan Jakarta, upacara di Istana
Gambir itu dimulai menjelang senja. Matahari sudah hampr terbenam ketika lagu
kebangsaan Belanda Wilhelmus berkumandang mengiringi bendera Merah-Putih-Biru
untuk terakhir kalinya merayap turun dari puncak tiangnya. Masyarakat yang
berkumpul di luar halaman Istana Gamir bersorak-sorak menyaksikan turunnya
bendera tiga warna itu. Sorak-sorai kian gemuruh setelah kemudian lagu
kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan mengantar bendera Merah-Putih ke
puncak tiang. ”Merdeka ! Merdeka! Hidup Indonesia!”
Sementara di Troonzaal (Bangsal Singgasana) Istana Dam, Amsterdam, Ratu
Juliana menandatangani naskah pengakuan kedaulatan itu dan menyerahkan kepada
Perdana Menteri Republik Indonesia Mohammad Hatta yang memimpin Delegasi
Republik Indonesia dalam perundingan itu. Untuk pertama kalinya lagu kebangsaan
Indonesia Raya diperdengarkan di Istana Dam.
Kobaran pekik Merdeka pada
senja bersejarah itulah yang kemudian menggerakkan Bung Karno untuk mengubah
nama Istana Gambir menjadi Istana Merdeka.
Istana Merdeka |
Tempat ini menjadi saksi bisu atas berbagai peristiwa bersejarah.
Tercatat 22 pembesar pemerintah pernah menjadi tuan rumah di istana ini, yakni
15 gubernur jenderal Hindia Belanda, 3 panglima tertinggi kekaisaran Jepang dan
4 presiden Republik Indonesia. Namun yang benar-benar menetap di istana ini
hanya 3 panglima tertinggi Jepang .dan Presiden Soekarno. Para gubernur
jenderal Hindia Belanda lebih suka tinggal di Istana Buitenzorg atau Istana
Bogor yang lebih sejuk. Presiden Soekarno mempergunakan Istana Merdeka sebagai
tempat tinggal dan kantor. Pada peringatan kemerdekaan Indonesia setiap tanggal
17 Agustus, massa rakyat dikerahkan untuk mendengarkan pidato kenegaraan yang
diadakan di halaman depan Istana Merdeka.
Istana Negara dan Istana Merdeka dibangun mengikuti konsep rumah
panggung untuk memperhitungkan kemungkinan banjir atau pasang surut air. Konsep
rumah panggung itu juga berfungsi sebaga sarana aliran udara (ventilasi) untuk
menyejukkan isi bangunan. Dengan hadirnya teknologi penyejuk udara di masa
modern, bagian bawah ini kemudian ditembok dan diubah menjadi berbagai ruang
layanan, seperti dapur, gudang, dan sebagainya.
Gaya arsitektur Pallado
tampak jelas dari eksterior kedua gedung ini yang menampilkan saka-saka
bercorak Yunani. Ada enam saka bundar laras Doria di bagian depan Istana
Merdeka, sedangkan bagian depan Istana Negara menonjolkan 14 saka dengan laras
yang sama. Kesan arsitektur Palladio juga terlihat pada bingkai-bingkai jendela
dan pintu yang besar disamping lengkung-lengkung gapura di kedua sisi Istana
Merdeka. Kedua Istana Jakarta ini mempunyai ciri yang hampir mirip, yaitu
serambi depan yang luas dan terbuka. Di Istana Merdeka, serambi itu dicapai
dengan mendaki 16 anak tangga batu pualam, langsung dari arah depan. Di Istana
Negara, serambinya yang sedikit lebih sempit dicapai dari dua anak tangga di
sisi kanan dan kiri, dan bagian depannya ditutup dengan pagar balustrada.
Istana Merdeka |
Sisi barat depan Istana Merdeka dipergunakan bagi kegiatan-kegiatan
yang lebih resmi. Di antara serambi depan dan ruang kerja Presiden semula
merupakan teras terbuka dengan perabotan dari rotan. Ruangan ini pada masa
Presiden Soeharto ditutup tembok. Sebagian menjadi ruang tunggu untuk para duta
besar sebelum menyerahkan surat keprecayaan kepada Presiden. Sebagian lagi menjadi
ruang tamu Presiden yang kemuadian dikenal sebagai ruang Jepara karena ruangan
ini pada masa Presiden Soeharto diisi dengan meja-kursi kayu dan ragam interior
dari ukuran Jepara.
Ruang kerja Presiden Soekarno diisi dengan meja dari kayu jati masif,
setelan kursi tamu dari kulit, dan dua dinding yang dipenuhi lemari buku
tingginya sepertiga dinding. Ruang kerja ini nyaris tidak berubah setelah
ditinggalkan Bung Karno dan selama 32 tahun dipergunakan oleh Presiden
Soeharto. Baru pada masa Presiden B.J. Habibie ruang tersebut mengalami sediikt
perubahan.
Di pelataran juga terdapat sebuah bangunan yang disebut sanggar. Bangunan itu terbuat dari kayu,
bertingkat dua, dan sering dipakai Bung Karno sebagai studio untuk melukis atau
menulis naskah pidato. Kelak di atas lokasi ini Pak Harto membangun Puri Bhakti
Renatama yang berfungsi sebagai museum untuk menyimpan lukisan dan benda-benda
seni.
(Istana Kepresidenan RI/jakarta.go.id/Kaskus/Wikipedia)