Sebagai kota yang telah ada sejak 1427, Jakarta pastinya memiliki
banyak tempat bersejarah yang menarik. Salah satunya adalah sebuah masjid tua
yang dikenal dengan Masjid Angke.
Sama seperti namanya, Masjid Angke terletak di Kampung Angke, Jalan
Tubagus Angke, Jakarta Barat. Masjid yang arsitekturnya campuran antara
arsitektur Jawa, Cina, dan Eropa ini ditetapkan menjadi cagar budaya sejak 1972
lalu. Tapi, menurut sejarawan asal Belanda Dr. de Haan dalam bukunya Oud
Batavia menyebut masjid yang kini dikenal sebagai Masjid Al-Anwar ini didirikan
pada hari Kamis 26 Sya'ban 1174 H atau sama dengan 2 April 1761 M oleh wanita
keturunan Cina Muslim kaya dari Tartar yang menikah dengan pangeran dari
Banten. Kisah itu didapatkan oleh de Haan melalui cerita dari mulut ke mulut
penduduk sekitar Angke ketika itu. (Urbanesia/www.al-shia.org)
Masjid Angke |
Masjid itu bercorak perpaduan antara unsur Jawa dan Tionghoa, tampak
pada pintu masuk dan ujung atap yang mirip klenteng. Masjid itu konon didirikan
oleh Gouw Tjay yang masuk Islam pada 1526. Masjid itu tak dapat dipisahkan dari
pejuang dan pendiri Jakarta seperti Fatahillah dan Tubagus Angke. Konon, dulu
di ambang pintu masuk itu terpampang jelas nama Al-Mubarak. (Kompasiana)
Masjid Angke mudah dicapai oleh minibus dari Museum Fatahillah Kota. Ia
adalah satu-satunya masjid di Jakarta yang masih bertahan. Bangunan masjid ini
ada dua lantai, yang bercirikan khas arsitektur Jawa.
Flashback
Ketika bahu membahu membantu pasukan Pangeran Fatahillah menggempur VOC
di Pelabuhan Sunda Kelapa, sama halnya dengan orang-orang Mataram sebelumnya,
orang-orang dari Kasultanan Banten pun memilih menetap di Batavia. Salah
seorang yang tidak bisa lepas dari peristiwa itu, adalah Tubagus Angke, seorang
bangsawan Banten bergelar pangeran yang kemudian wafat di Batavia. Dan
keberadaan masjid yang dahulu disebut Masjid Angke saja ini tak terlepas dari
keberadaan Tubagus Angke.
Nama Angke punya sejarah unik. Pemberontakan Cina pada 1740 terjadi
pada masa Gubernur Jenderal Adrian Valekenier (1737-1741). Jumlah imigran Cina
yang kian membengkak menimbulkan berbagai ketegangan. Valekenier pusing, sehingga
pada musim semi 1740, ia mengimigrasi paksa mereka ke Sri Lanka. (Kompasiana)
Pada sekitar tahun 1740 warga keturunan Cina yang bersitegang dengan
Gubernur Jenderal Batavia, Jendral Valekenier, menyusup, dan menyerang Batavia.
Hal ini membuat Valekenier memerintahkan untuk melakukan pembunuhan massal
terhadap orang-orang Cina di Batavia. (Urbanesia)
Masjid Angke |
Ketika masa kemerdekaan tahun 1945, masjid yang saat itu tidak tercium
oleh Belanda ini juga digunakan oleh para pemuda untuk mengadakan rapat-rapat
rahasia agar tidak diketahui oleh pihak Belanda. Di sini juga para ulama Angke
sering berkhutbah untuk menyemangati para pemuda untuk terus berjuang melawan
Belanda yang saat itu menjajah Indonesia.
Pada era perang kemerdekaan, Masjid Angke dijadikan markas pejuang. Di
situ, sering diadakan pertemuan rahasia untuk menyusun strategi melawan
Belanda. Bahkan, khutbah pun diarahkan untuk mendorong perjuangan
mempertahankan kemerdekaan pada kira-kira 1945-1949.
Dari masjid itulah, para ulama menggembleng semangat jihad para pejuang
yang disebar ke seluruh Jakarta, terutama Jakarta Barat. Begitu rapi kegiatan
itu dilakukan, sehingga Belanda tak mampu menciumnya. Dan: selamatlah Masjid
Angke dari penyerbuan oleh Belanda.
Masjid Angke |
Present
Walaupun berukuran kecil—15 x 15 m2 berdiri di atas lahan
200 m2—masjid ini adalah salah satu masjid bersejarah yang dilindungi
oleh UU Monumen (Monumen Ordonantie Stbl) Nomor 238 tahun 1931, juga diperkuat
oleh SK Gubernur KDKI Jakarta tanggal 10 Januari 1972. Bangunannya cukup
menarik karena memperlihatkan perpaduan dari berbagai gaya arsitektur. Ada gaya
Banten kuno dan Cina, juga pengaruh Hindu. (Kompasiana/www.al-shia.org)
Atapnya berbentuk cungkup bersusun dua model arsitektur khas Cina,
dengan ujung cungkup (nok) berbentuk kuncup melati, tertempel bekas horn sirine kecil. Bentuk
jurai/sopi-sopi di masing-masing atapnya membengkok di bagian ujung bawah. Dan
di keempat ujung jurainya, bercuping seperti bunga terompet. Bentuk list-plang
kayunya bermotif ombak dengan bonggol kuncup melati terbalik di setiap
sudutnya. Sedang model kusen pintu berdaun dua, seperti lumpang terbalik bermotif
ukir-ukiran di bagian bawah dan atas pintu.
Uniknya, kita sekilas bisa menilik sejarah kota Jakarta melalui
makam-makam tua yang ada di belakang masjid. Beberapa ulama dan keturunan
kesultanan Banten dikubur di sana; Syekh Jafar, Sarifah Mariyam, dan Pangeran
Tubagus Anjani. Pada tahun 1856 Pangeran Syarif Hamid, seorang Sultan dari
Pontianak dibuang ke Batavia (sekarang Jakarta) oleh Belanda. Ketika ia
meninggal ia dikuburkan di depan masjid pada tanggal 17 Juli 1858. Makamnya
terbuat dari batu pualam dan terdapat tulisan yang menyebutkan usia sultan
yakni meninggal dunia dalam usia 64 tahun 35 hari. Karena itulah Masjid Angke
menjadi salah satu situs ibadah yang unik dan sekaligus menjadi tempat
berziarah bagi orang-orang zaman dulu.
Masjid Angke |
Bangunan Masjid Angke juga memiliki tiga bagian yang unik. Yang pertama
bagian kaki berbentuk massif, setinggi 1,1 m. Bentuk ini mengingatkan pada
bangunan sebelum Islam datang ke Indonesia. Ada lima tangga di depan pintu
timur, selatan, dan utara.
Bagian kedua ialah badan bangunan. Jendelanya berteralis dengan gaya
mirip rumah Belanda zaman dulu. Ada empat sokoguru segi empat dengan kayu
penyangga berukir kepala ular. Mimbarnya segi empat dan terbuat dari batu bata,
yang modelnya mengingatkan pada gaya Eropa dan Moor.
Bagian ketiga atap bertingkat dua dengan lorong yang berteralis mirip
jendela. Di tingkat dua, muadzin biasa mengumandangkan adzan. Puncak atap
berbentuk buah nanas.
Kaligrafi Arab berupa kutipan ayat Al-Qur’an, hadits Nabi SAW, dan
kalimat syahadat memenuhi bagian dinding masjid. Bahkan, ada catatan dalam
bahasa Arab, yang berarti, “Kalimat ini tertera pada batu tulis sebagai
peringatan Masjis Al-Mubarak, hari Kamis, 26 hari bulan Sya’ban, tahun 1174
dari Hijrah Nabi.”
(Enjoy
Jakarta/Kompasiana/www.al-shia.org/Urbanesia)