Pages

Wednesday, February 22, 2012

Taman Nasional Ujung Kulon

Taman Nasional Ujung Kulon merupakan obyek wisata alam yang menarik, dengan keindahan berbagai bentuk gejala dan keunikan alam berupa sungai-sungai dengan jeramnya, air terjun, pantai pasir putih, sumber air panas, taman laut, dan peninggalan budaya/sejarah (Arca Ganesha, di Gunung Raksa Pulau Panaitan). Kesemuanya merupakan pesona alam yang sangat menarik untuk dikunjungi dan sulit ditemukan di tempat lain.
Taman Nasional Ujung Kulon merupakan perwakilan ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah yang tersisa dan terluas di Jawa Barat, serta merupakan habitat yang ideal bagi kelangsungan hidup satwa langka badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) dan satwa langka lainnya. Terdapat tiga tipe ekosistem di taman nasional ini yaitu ekosistem perairan laut, ekosistem rawa, dan ekosistem daratan.
Bila ditilik secara historis, Ujung Kulon merupakan taman nasional tertua di Indonesia. Taman ini merupakan cikal-bakal beberapa taman nasional di Indonesia, seperti Taman Nasional Bunaken di Sulawesi Utara atau kawasan Taman Nasional Gunung Leuser di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara.
Taman Nasional Ujung Kulon
Selain nilai historisnya, kawasan ini memiliki zona inti seluas kurang lebih 120.551 ha yang terbagi menjadi 76.214 ha berupa daratan dan 44.337 ha berupa lautan dan daerah berbatu karang. Zona inti yang berfungsi sebagai cagar alam dan suaka margasatwa ini memiliki berbagai macam keistimewaan, di antaranya keanekaragaman jenis biota laut, darat, dan satwa langka.
Taman Nasional Ujung Kulon bersama Cagar Alam Krakatau merupakan asset nasional, dan telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Alam Dunia oleh UNESCO pada tahun 1991.
Untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan Taman Nasional Ujung Kulon sebagai Situs Warisan Alam Dunia, UNESCO telah memberikan dukungan pendanaan dan bantuan teknis.
Taman Nasional Ujung Kulon: Rhinoceros sondaicus
Flashback
Taman nasional yang berada di Provinsi Banten ini dinamai Ujung Kulon lantaran letaknya di ujung Pulau Jawa bagian barat. Taman nasional ini mulai dikembangkan sebagai kawasan cagar alam sejak tahun 1820-an, atau setelah munculnya gagasan dari para sarjana kolonial Hindia-Belanda yang datang ke Pulau Jawa untuk menciptakan kawasan konservasi alam di Ujung Kulon. Sarjana-sarjana kolonial yang sebagian besar merupakan anggota Organization for Scientific Research in Netherlands Indies ini di antaranya merupakan ahli botani, satwa, geografi, oceanografi, dan geologi. Oleh karenanya, penemuan kawasan ini merupakan lahan emas bagi pengembangan sains mereka.
Setelah berlabuh di semenanjung Pulau Jawa bagian barat, mereka melihat keelokan alami dengan berbagai jenis tanaman tropis dan binatang khas Pulau Jawa yang belum pernah mereka jumpai sebelumnya. Mereka melakukan ekspedisi dan eksplorasi alam di Ujung Kulon dengan mendokumentasikan—melakukan pencatatan-pencatatan—dan mengoleksi segala sesuatu yang dianggap asing dan penting dalam khazanah keilmuan mereka. Akhirnya, mereka menggagas untuk menetapkan kawasan—yang mencakup Gunung Krakatau, Pulau Panaitan, Pulau Handeuleum, dan Pulau Peucang—ini sebagai salah satu domain riset dan pengembangan ilmu alam di Asia Pasifik.
Tahun 1846, Kekayaan flora dan fauna Ujung Kulon pertama kali diperkenalkan oleh Junghun dan Hoogerwerf ahli botani berkebangsaan eropa. Pada waktu itu mereka melakukan perjalanan ke Semenanjung Ujung Kulon untuk mengumpulkan beberapa species tumbuhan tropis yang eksotik.
Satu dekade kemudian, keragaman speciesnya dinyatakan dalam laporan perjalanan ilmiah yang dimasukkan ke dalam jurnal ilmiah.
Taman Nasional Ujung Kulon: Arca Ganesha di Gunung Raksa
Kendati motivasi utama mereka adalah untuk pengembangan sains, pemerintah kolonial menganggap aktivitas mereka merusak ekosistem kawasan Ujung Kulon. Sebagaimana tertulis dalam catatan sejarah kolonial, selain melakukan riset, para sarjana tersebut juga melakukan perburuan-perburuan terhadap berbagai satwa sebagai upaya memperbanyak koleksi museum-museum sains di negara asal mereka dan ini berlangsung hingga puluhan tahun lamanya (1853-1910). Memasuki tahun 1910, pemerintah kolonial Hindia-Belanda mengeluarkan kebijakan untuk melindungi kawasan Ujung Kulon yang makin hari semakin rusak. Kendati demikian, aktivitas pengrusakan ekosistem di Ujung Kulon itu tetap berlangsung hingga sebelum Perang Dunia II pecah di tahun 1939.
Tahun 1883, Pada bulan Agustus gunung Krakatau meletus, menghasilkan gelombang tsunami yang menghancurkan kawasan perairan dan daratan di Ujung Kulon serta membunuh tidak hanya manusia akan tetapi satwa dan tumbuhan. Pada saat itu seluruh kawasan Ujung Kulon diberitakan hancur. Sejak letusan gunung Krakatau yang dahsyat tersebut, kondisi Ujung Kulon tidak banyak diketahui, sampai kemudian dilaporkan bahwa kawasan Ujung Kulon sudah tumbuh kembali dengan cepat.
Setelah terbentuknya negara Republik Indonesia di tahun 1945, kawasan Ujung Kulon yang tadinya terbengkalai mulai diperhatikan lagi. Pada tahun 1958 pemerintah RI menetapkan kawasan ini sebagai kawasan cagar alam, kendati belum digarap dengan serius. Departemen Kehutanan mengupayakannya dengan mengusulkan ke UNESCO agar area taman nasional ini dijadikan sebagai world heritage site pada kategori hutan bercurah hujan tinggi di dataran rendah terluas di Jawa. Akhirnya, pada tahun 1992 Taman Nasional Ujung Kulon diresmikan sebagai sebuah situs cagar alam dunia oleh UNESCO. Kini, taman nasional ini berada di bawah pengelolaan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Tahun 1921, Ujung Kulon dan Pulau Panaitan ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai Cagar Alam Ujung Kulon-Panaitan melalui SK. Pemerintah Hindia Belanda No. 60 tanggal 16 November 1921.
Taman Nasional Ujung Kulon: Gua Sanghiang Sirah
Tahun 1958, berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 48/Um/1958 tanggal 17 April 1958 berubah kembali menjadi kawasan Suaka Alam dengan memasukan kawasan perairan laut selebar 500 meter dari batas air laut surut terendah Semenanjung Ujung Kulon, dan memasukkan pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti Pulau Peucang, Pulau Panaitan, dan pulau-pulau Handeuleum (pulau Boboko, pulau Pamanggangan)
Tahun 1992, Ujung Kulon ditetapkan sebagai Taman Nasional dengan SK. Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992 tanggal 26 Pebruari 1992. Meliputi wilayah Semenanjung Ujung Kulon, Pulau Panaitan, Pulau Peucang, P. Handeuleum dan Gunung Honje. Dengan luas keseluruhan 120.551 ha, yang terdiri dari daratan 76.214 ha dan laut 44.337 ha.
Ditahun yang sama, Taman Nasional Ujung Kulon ditetapkan sebagai The Natural World Heritage Site oleh Komisi Warisan Alam Dunia UNESCO dengan Surat Keputusan No. SC/Eco/5867.2.409 tahun 1992 tanggal 1 Februari 1992.
Present
Kurang lebih 700 jenis tumbuhan terlindungi dengan baik dan 57 jenis diantaranya langka seperti; merbau (Intsia bijuga), palahlar (Dipterocarpus haseltii), bungur (Lagerstroemia speciosa), cerlang (Pterospermum diversifolium), ki hujan (Engelhardia serrata), dan berbagai macam jenis anggrek.
Taman Nasional Ujung Kulon: Muara Sungai Cibunar
Satwa di Taman Nasional Ujung Kulon terdiri dari 35 jenis mamalia, 5 jenis primata, 59 jenis reptilia, 22 jenis amfibia, 240 jenis burung, 72 jenis insekta, 142 jenis ikan, dan 33 jenis terumbu karang. Satwa langka dan dilindungi selain badak Jawa adalah banteng (Bos javanicus javanicus), ajag (Cuon alpinus javanicus), surili (Presbytis comata comata), lutung (Trachypithecus auratus auratus), rusa (Cervus timorensis russa), macan tutul (Panthera pardus), kucing batu (Prionailurus bengalensis javanensis), owa (Hylobates moloch), dan kima raksasa (Tridacna gigas).
Jenis-jenis ikan yang menarik di Taman Nasional Ujung Kulon baik yang hidup di perairan laut maupun sungai antara lain ikan kupu-kupu, badut, bidadari, singa, kakatua, glodok, dan sumpit (archer fish). Ikan glodok dan ikan sumpit adalah dua jenis ikan yang sangat aneh dan unik yaitu ikan glodok memiliki kemampuan memanjat akar pohon bakau, sedangkan ikan sumpit memiliki kemampuan menyemprot air ke atas permukaan setinggi lebih dari satu meter untuk menembak memangsanya (serangga kecil) yang berada di daun-daun yang rantingnya menjulur di atas permukaan air.
Di dalam taman nasional, ada tempat-tempat yang dikeramatkan bagi kepentingan kepercayaan spiritual. Tempat yang paling terkenal sebagai tujuan ziarah adalah Gua Sanghiang Sirah, yang terletak di ujung Barat semenanjung Ujung Kulon.
Kawasan ini dilengkapi dengan jaringan telekomunikasi, listrik, dan air bersih yang memadai bagi wisatawan. Pilihan penginapan dari berbagai model—hotel, motel, homestay, maupun cottage—dengan variasi harga sewa dapat ditemukan di Tamanjaya—masih dalam area taman nasional, Pulau Peucang, dan Pulau Handeuleum. Ada penginapan, tentu ada pula rumah makan. Di kawasan ini, restoran ataupun cafĂ© menyuguhkan berbagai pilihan menu masakan khas Nusantara maupun yang bercitarasa internasional. Di samping itu, juga tersedia jasa informasi, pemandu wisata, dan fasilitas kapal kecil (speed boat) bagi yang ingin menjelajahi antarpulau di kawasan taman nasional ini.

No comments:

Post a Comment