Taman Nasional Ujung Kulon merupakan obyek wisata alam yang menarik,
dengan keindahan berbagai bentuk gejala dan keunikan alam berupa sungai-sungai
dengan jeramnya, air terjun, pantai pasir putih, sumber air panas, taman laut,
dan peninggalan budaya/sejarah (Arca Ganesha, di Gunung Raksa Pulau Panaitan).
Kesemuanya merupakan pesona alam yang sangat menarik untuk dikunjungi dan sulit
ditemukan di tempat lain.
Taman Nasional Ujung Kulon merupakan perwakilan ekosistem hutan hujan
tropis dataran rendah yang tersisa dan terluas di Jawa Barat, serta merupakan
habitat yang ideal bagi kelangsungan hidup satwa langka badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) dan satwa langka lainnya.
Terdapat tiga tipe ekosistem di taman nasional ini yaitu ekosistem perairan
laut, ekosistem rawa, dan ekosistem daratan.
Bila ditilik secara historis, Ujung Kulon merupakan taman nasional
tertua di Indonesia. Taman ini merupakan cikal-bakal beberapa taman nasional di
Indonesia, seperti Taman Nasional Bunaken di Sulawesi Utara atau kawasan Taman
Nasional Gunung Leuser di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara.
Taman Nasional Ujung Kulon |
Selain nilai historisnya, kawasan ini memiliki zona inti seluas kurang
lebih 120.551 ha yang terbagi menjadi 76.214 ha berupa daratan dan 44.337 ha
berupa lautan dan daerah berbatu karang. Zona inti yang berfungsi sebagai cagar
alam dan suaka margasatwa ini memiliki berbagai macam keistimewaan, di
antaranya keanekaragaman jenis biota laut, darat, dan satwa langka.
Taman Nasional Ujung Kulon bersama Cagar Alam Krakatau merupakan asset
nasional, dan telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Alam Dunia oleh UNESCO
pada tahun 1991.
Untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan Taman Nasional Ujung Kulon
sebagai Situs Warisan Alam Dunia, UNESCO telah memberikan dukungan pendanaan
dan bantuan teknis.
Taman Nasional Ujung Kulon: Rhinoceros sondaicus |
Flashback
Taman nasional yang berada di Provinsi Banten ini dinamai Ujung Kulon
lantaran letaknya di ujung Pulau Jawa bagian barat. Taman nasional ini mulai
dikembangkan sebagai kawasan cagar alam sejak tahun 1820-an, atau setelah
munculnya gagasan dari para sarjana kolonial Hindia-Belanda yang datang ke
Pulau Jawa untuk menciptakan kawasan konservasi alam di Ujung Kulon.
Sarjana-sarjana kolonial yang sebagian besar merupakan anggota Organization for Scientific Research in
Netherlands Indies ini di antaranya merupakan ahli botani, satwa, geografi,
oceanografi, dan geologi. Oleh karenanya, penemuan kawasan ini merupakan lahan
emas bagi pengembangan sains mereka.
Setelah berlabuh di semenanjung Pulau Jawa bagian barat, mereka melihat
keelokan alami dengan berbagai jenis tanaman tropis dan binatang khas Pulau
Jawa yang belum pernah mereka jumpai sebelumnya. Mereka melakukan ekspedisi dan
eksplorasi alam di Ujung Kulon dengan mendokumentasikan—melakukan
pencatatan-pencatatan—dan mengoleksi segala sesuatu yang dianggap asing dan
penting dalam khazanah keilmuan mereka. Akhirnya, mereka menggagas untuk
menetapkan kawasanyang mencakup Gunung Krakatau,
Pulau Panaitan, Pulau Handeuleum, dan Pulau Peucangini
sebagai salah satu domain riset dan pengembangan ilmu alam di Asia Pasifik.
Tahun 1846, Kekayaan flora dan fauna Ujung Kulon pertama kali
diperkenalkan oleh Junghun dan Hoogerwerf ahli botani berkebangsaan eropa. Pada
waktu itu mereka melakukan perjalanan ke Semenanjung Ujung Kulon untuk
mengumpulkan beberapa species tumbuhan tropis yang eksotik.
Satu dekade kemudian, keragaman speciesnya dinyatakan dalam laporan
perjalanan ilmiah yang dimasukkan ke dalam jurnal ilmiah.
Taman Nasional Ujung Kulon: Arca Ganesha di Gunung Raksa |
Kendati motivasi utama mereka adalah untuk pengembangan sains,
pemerintah kolonial menganggap aktivitas mereka merusak ekosistem kawasan Ujung
Kulon. Sebagaimana tertulis dalam catatan sejarah kolonial, selain melakukan
riset, para sarjana tersebut juga melakukan perburuan-perburuan terhadap
berbagai satwa sebagai upaya memperbanyak koleksi museum-museum sains di negara
asal mereka dan ini berlangsung hingga puluhan tahun lamanya (1853-1910).
Memasuki tahun 1910, pemerintah kolonial Hindia-Belanda mengeluarkan kebijakan
untuk melindungi kawasan Ujung Kulon yang makin hari semakin rusak. Kendati
demikian, aktivitas pengrusakan ekosistem di Ujung Kulon itu tetap berlangsung
hingga sebelum Perang Dunia II pecah di tahun 1939.
Tahun 1883, Pada bulan Agustus gunung Krakatau meletus, menghasilkan
gelombang tsunami yang menghancurkan kawasan perairan dan daratan di Ujung
Kulon serta membunuh tidak hanya manusia akan tetapi satwa dan tumbuhan. Pada
saat itu seluruh kawasan Ujung Kulon diberitakan hancur. Sejak letusan gunung
Krakatau yang dahsyat tersebut, kondisi Ujung Kulon tidak banyak diketahui,
sampai kemudian dilaporkan bahwa kawasan Ujung Kulon sudah tumbuh kembali
dengan cepat.
Setelah terbentuknya negara Republik Indonesia di tahun 1945, kawasan
Ujung Kulon yang tadinya terbengkalai mulai diperhatikan lagi. Pada tahun 1958
pemerintah RI menetapkan kawasan ini sebagai kawasan cagar alam, kendati belum
digarap dengan serius. Departemen Kehutanan mengupayakannya dengan mengusulkan
ke UNESCO agar area taman nasional ini dijadikan sebagai world heritage site
pada kategori hutan bercurah hujan tinggi di dataran rendah terluas di Jawa.
Akhirnya, pada tahun 1992 Taman Nasional Ujung Kulon diresmikan sebagai sebuah
situs cagar alam dunia oleh UNESCO. Kini, taman nasional ini berada di bawah
pengelolaan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Tahun 1921, Ujung Kulon dan Pulau Panaitan ditetapkan oleh Pemerintah
Hindia Belanda sebagai Cagar Alam Ujung Kulon-Panaitan melalui SK. Pemerintah
Hindia Belanda No. 60 tanggal 16 November 1921.
Taman Nasional Ujung Kulon: Gua Sanghiang Sirah |
Tahun 1958, berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 48/Um/1958 tanggal 17
April 1958 berubah kembali menjadi kawasan Suaka Alam dengan memasukan kawasan
perairan laut selebar 500 meter dari batas air laut surut terendah Semenanjung
Ujung Kulon, dan memasukkan pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti Pulau
Peucang, Pulau Panaitan, dan pulau-pulau Handeuleum (pulau Boboko, pulau
Pamanggangan)
Tahun 1992, Ujung Kulon ditetapkan sebagai Taman Nasional dengan SK.
Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992 tanggal 26 Pebruari 1992. Meliputi
wilayah Semenanjung Ujung Kulon, Pulau Panaitan, Pulau Peucang, P. Handeuleum
dan Gunung Honje. Dengan luas keseluruhan 120.551 ha, yang terdiri dari daratan
76.214 ha dan laut 44.337 ha.
Ditahun yang sama, Taman Nasional Ujung Kulon ditetapkan sebagai The Natural World Heritage Site oleh
Komisi Warisan Alam Dunia UNESCO dengan Surat Keputusan No. SC/Eco/5867.2.409
tahun 1992 tanggal 1 Februari 1992.
Present
Kurang lebih 700 jenis tumbuhan terlindungi dengan baik dan 57 jenis
diantaranya langka seperti; merbau (Intsia
bijuga), palahlar (Dipterocarpus
haseltii), bungur (Lagerstroemia
speciosa), cerlang (Pterospermum
diversifolium), ki hujan (Engelhardia
serrata), dan berbagai macam jenis anggrek.
Taman Nasional Ujung Kulon: Muara Sungai Cibunar |
Satwa di Taman Nasional Ujung Kulon terdiri dari 35 jenis mamalia, 5 jenis
primata, 59 jenis reptilia, 22 jenis amfibia, 240 jenis burung, 72 jenis
insekta, 142 jenis ikan, dan 33 jenis terumbu karang. Satwa langka dan
dilindungi selain badak Jawa adalah banteng (Bos javanicus javanicus), ajag (Cuon
alpinus javanicus), surili (Presbytis
comata comata), lutung (Trachypithecus
auratus auratus), rusa (Cervus timorensis russa), macan tutul (Panthera
pardus), kucing batu (Prionailurus
bengalensis javanensis), owa (Hylobates
moloch), dan kima raksasa (Tridacna
gigas).
Jenis-jenis ikan yang menarik di Taman Nasional Ujung Kulon baik yang
hidup di perairan laut maupun sungai antara lain ikan kupu-kupu, badut,
bidadari, singa, kakatua, glodok, dan sumpit (archer fish). Ikan glodok dan ikan sumpit
adalah dua jenis ikan yang sangat aneh dan unik yaitu ikan glodok memiliki
kemampuan memanjat akar pohon bakau, sedangkan ikan sumpit memiliki kemampuan menyemprot
air ke atas permukaan setinggi lebih dari satu meter untuk menembak memangsanya
(serangga kecil) yang berada di daun-daun yang rantingnya menjulur di atas
permukaan air.
Di dalam taman nasional, ada tempat-tempat yang dikeramatkan bagi
kepentingan kepercayaan spiritual. Tempat yang paling terkenal sebagai tujuan
ziarah adalah Gua Sanghiang Sirah, yang terletak di ujung Barat semenanjung
Ujung Kulon.
Kawasan ini dilengkapi dengan jaringan telekomunikasi, listrik, dan air
bersih yang memadai bagi wisatawan. Pilihan penginapan dari berbagai model—hotel,
motel, homestay, maupun cottage—dengan variasi harga sewa dapat ditemukan di
Tamanjaya—masih dalam area taman nasional, Pulau Peucang, dan Pulau Handeuleum.
Ada penginapan, tentu ada pula rumah makan. Di kawasan ini, restoran ataupun
café menyuguhkan berbagai pilihan menu masakan
khas Nusantara maupun yang bercitarasa internasional. Di samping itu, juga
tersedia jasa informasi, pemandu wisata, dan fasilitas kapal kecil (speed boat)
bagi yang ingin menjelajahi antarpulau di kawasan taman nasional ini.
No comments:
Post a Comment