Peradaban manusia yang telah berjalan sejak lama menyisakan situs-situs
yang begitu menarik dan berarti, salah satunya yaitu sebuah bangunan vihara
peninggalan kerajaan Banten. Vihara yang namanya diambil dari nama seorang
Buddha yakni Buddha Avalokitesvara ini, telah berdiri sejak abad ke 16 dan
dikenal sebagai salah satu vihara tertua di indonesia.
Vihara yang termasuk dalam Kawasan Situs Banten Lama dan konon dibangun
sekitar tahun 1652 ini diberi nama Vihara Avalokitesvara. Nama vihara tersebut
diambil dari nama salah seorang penganut Buddha, yaitu Bodhisattva
Avalokitesvara, yang artinya mendengar
suara dunia.
Sementara itu, keberadaan vihara di pusat Kota Banten Lama dan letaknya
yang tidak terlalu jauh dari Masjid Agung Banten, menjadi bukti lain dari
fenomena kerukunan antarumat beragama di Banten pada masa lalu. Hinga kini,
tradisi kerukunan antarumat beragama tersebut masih terjalin dengan baik.
Vihara Avalokitesvara |
Secara administratif, Vihara Avalokitesvara masuk dalam wilayah Kampung
Pamarican/Kampung Kasunyatan, Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang,
Provinsi Banten, Indonesia.
Flashback
Vihara yang namanya diambil dari nama seorang Buddha yakni Buddha
Avalokitesvara ini, telah berdiri sejak abad ke 16 dan dikenal sebagai salah
satu vihara tertua di Indonesia. Vihara ini dibangun oleh salah satu raja
Banten yang pernah memerintah di tahun 1652 bernama Syeh Syarief Hidayatullah.
Dalam catatan sejarah, keberadaan Vihara Avalokitesvara ini tidak bisa
dilepaskan dari sosok Syarif Hidayatullah (1450-1568) atau yang lebih populer
dengan nama Sunan Gunung Jati, salah seorang wali yang menyebarkan agama Islam
di Pulau Jawa. Beliau terpantik mendirikan sebuah vihara di Serang karena
melihat banyaknya perantau dari Tiongkok beragama Buddha yang membutuhkan
tempat ibadah.
Vihara Avalokitesvara: Pintu Masuk |
Saat itu Syeh Syarief Hidayatullah menikahi seorang putri Tiongkok.
Sunan Gunung Jati yang merupakan seorang wali, melihat bahwa ada banyak
perantau dari Cina yang membutuhkan tempat ibadah. Maka kemudian Sunan Gunung
Jati berinisiatif untuk membangun sebuah vihara untuk tempat peribadatan umat
Buddha pada masa itu, vihara tersebut kemudian diberi nama Vihara
Avalokitesvara.
Bagi masyarakat Banten sendiri, bangunan vihara ini tidak hanya sekedar
menjadi bangunan bersejarah ataupun tempat peribadatan semata, tetapi juga
sebagai simbol bagaimana masyarakat lampau mampu mewariskan keharmonisan dalam
menghadapi setiap perbedaan yang ada. Masyarakat Banten memang dikenal sebagai
komunitas mayoritas muslim, namun keharmonisan beragama di kawasan Banten Lama
ini terjalin sangat baik, bahkan tak jarang penduduk yang tinggal di sekitar
kawasan vihara ikut terlibat dan membantu ketika ada acara dan
perayaan-perayaan di vihara, contohnya seperti perayaan ulang tahun Buddha.
Vihara Avalokitesvara merupakan lambang toleransi agama yang sangat
kuat di Pusat Pemerintahan Kesultanan Banten. Pada saat itu, kemajuan dan
kejayaan Kesultanan Banten mengundang para saudagar atau pedagang dari penjuru
dunia, dari India, Arab, Cina dan Eropa tentunya. Sehingga pada saat itu
berkembanglah perkampungan-perkampungan dari masing-masing suku, seperti
perkampungan Bugis dan China. Seperti pada umunya, perkampungan China ini
disebut dengan Pecinan, nah di perkampungan inilah berdiri Vihara yang menjadi
peribadatan masyarakat setempat. Toleransi beragama yang diusung oleh Islam
sebagai agama resmi di Kesultanan Banten memberikan izin keberadaan Vihara ini,
tidak jauh dari Vihara pun berdiri Masjid Pecinan sebagai siar Islam bagi
percampuran masyarakat setempat.
Vihara Avalokitesvara: Sarana Ibadah |
Toleransi beragama dan keharmonisan hubungan antara umat Islam dan umat
Buddha di kawasan Banten lama juga dapat terpancar dari arsitektur bangunan
Masjid Agung Banten Lama yang terletak tak jauh dari kawasan vihara. Masjid
Agung Banten Lama yang juga adalah ikon Banten lama memiliki arsitektur
bangunan yang bergaya Eropa Cina.
Present
Vihara Avalokitesvara setelah Belanda mengusai Kesultanan Banten berada
di sebelah barat Benteng Speelwijk yang dibangun kemudian. Dan kini
keberadaannya tetap terawat dengan baik, setiap hari-hari besar keagamaan
Buddha, vihara ini menjadi sangat ramai yang para pengunjungnya kebanyakan
berasal dari Jakarta atau kota-kota lain disekitar Banten. Kesenian seperti
Barongsai menjadi sajian utama setiap ada perayaan seperti Hari Raya Imlek.
Untuk memasuki Vihara ini, pengunjung dibebaskan dari tiket, hanya terdapat tempat sumbangan yang dapat diberikan
secara sukarela, terutama bagi pengunjung yang akan melaksanakan ibadah di
vihara ini. Selain itu, fasilitas yang ada juga cukup baik, seperti terdapat
pula penginapan bila ada pengunjung yang ingin menginap. Biasanya, penginapan
ini akan penuh pada saat hari-hari besar keagamaan Buddha.
Vihara Avalokitesvara: Suasana di Sekitar Vihara |
Di dalam vihara, pengunjung dapat menjumpai beraneka koleksi arsip,
foto, lukisan, dan patung Dewi Kwan Im peninggalan Kekaisaran Tiongkok pada
masa Dinasti Ming. Di samping itu, pengunjung juga dapat mengetahui reportase
dahsyatnya gempa dan tsunami yang melanda kawasan sekitar Selat Sunda akibat
letusan Gunung Krakatau pada tanggal 27 Agustus 1883. Reportase kronologi
peristiwa tersebut dikisahkan dalam tiga bahasa, dan pengunjung dapat
membacanya pada sebuah papan yang menempel di salah satu dinding vihara. Meski
lokasi vihara dekat dengan laut, ajaibnya, vihara ini tidak terpengaruh oleh
gempa tektonik dan tsunami dahsyat yang menewaskan ribuan korban yang sempat
menggemparkan dunia itu.
Kompleks vihara yang luas dan suasana di sekitarnya yang tenang, serta
lokasinya yang dekat dengan laut, menjadikan vihara ini begitu istimewa untuk
dikunjungi. Angin laut yang berhembus pelan dan pesona daun nyiur yang
melambai-lambai dengan latar Selat Sunda nan biru, menambah daya tarik kawasan
ini. Sehingga, tidak mengherankan jika banyak orang yang datang ke sini, baik
pemeluk agama Buddha yang ingin memanjatkan doa dengan khusyuk maupun turis
yang ingin bertamasya atau sekadar mencari inspirasi. Biasanya, vihara ini
ramai dikunjungi oleh turis dari dalam dan luar negeri pada saat perayaan Tahun
Baru Imlek dan peringatan Lakwe Cakau, hari kesempurnaan Dewi Kwan Im sebagai
Ibu Suri Buddha.
Setelah puas mengunjungi vihara ini, dapat pula mencoba suasana lain
yang masih termasuk dalam Kawasan Wisata Situs Banten Lama, seperti Masjid Agung Banten, Benteng Speelwijk, bekas Keraton Surosowon dan Keraton Kaibon,
serta bekas Pelabuhan Kramatwatu, sebuah pelabuhan yang sangat terkenal pada
masa kegemilangan Kesultanan Banten. Obyek-obyek wisata ini lokasinya
berdekatan dengan Vihara Avalokitesvara.
Vihara Avalokitesvara: Menara |
Di sekitar kawasan vihara tersebut terdapat rumah makan, warung, dan
pedagang asongan yang menyediakan berbagai kebutuhan wisatawan. Di depan vihara
juga terdapat penjual aneka makanan laut yang telah dikeringkan sebagai oleh-oleh,
mulai dari cumi, lontar telur, telur ikan, ikan japu, sampai terasi udang.
Di kawasan ini juga terdapat home stay, wisma, dan hotel dengan
berbagai tipe, sehingga tidak perlu khawatir bila mengunjungi vihara ini pada
malam hari. Bahkan, di dalam kompleks vihara disediakan tempat penginapan bagi yang
ingin bermalam di sana.
Mengunjungi Vihara Avalokitesvara tergolong istimewa. Karena dengan
mengunjungi vihara ini berarti seseorang telah mengunjungi sebuah situs sejarah
dan sekaligus tempat ibadah. Sebagai situs sejarah, vihara ini termasuk salah
satu vihara tertua di Indonesia. Vihara ini juga menjadi bukti kegemilangan
peradaban Kesultanan Banten pada masa lalu. Sebagai tempat ibadah, vihara ini
merupakan salah satu tempat ibadah favorit bagi umat Buddha dari dalam dan luar
negeri.
Namun, vihara ini lebih dari sekadar situs sejarah dan tempat ibadah.
Karena sesungguhnya, keberadaan vihara ini adalah simbol yang mencerminkan karakter
masyarakat Banten yang mencintai kerukunan dan keharmonisan dengan berbagai
suku, bangsa, dan agama pada masa lalu. Meskipun mayoritas penduduknya beragama
Islam, namun masyarakat Banten senantiasa terbuka dengan berbagai agama yang
masuk ke kawasan tersebut.
No comments:
Post a Comment