Jejak sejarah terkisah di sebuah bangunan kuno yang terletak di Jalan
Diponogoro, Jakarta Pusat ini. Berbeda dengan bangunan bersejarah lainnya,
bangunan ini memang mengkhususkan untuk tempat khusus pertunjukan film.
Bioskop Metropole di Kota Jakarta adalah sebuah gedung bioskop
bersejarah yang dibangun pada tahun 1932 dengan nama Bioscoop Metropool, sesuai
dengan ejaan bahasa Belanda pada waktu itu. (Media Indonesia/Wikipedia)
Bioskop Metropole: Megaria 21 |
Pada 1951, gedung dan lahan seluas 11.623 m² ini dimiliki oleh PT
Bioskop Metropole. Pada 1960, Presiden Soekarno memerintahkan penggantian semua
nama yang berbau asing, karena itu Bioskop Metropool pun berganti nama menjadi Bioskop
Megaria. Pada 1989 gedung bioskop ini disewakan oleh PT Bioskop Metropole
kepada jaringan 21 Cineplex, yang mengubah rancangan dalam gedung itu sehingga
menjadi 6 bioskop mini dengan kapasitas tempat duduk sektiar 50 kursi setiap
ruangannya. Namanya pun sempat berubah menjadi Megaria 21.
Bioskop Metropole: Metropole XXI |
Pada awal 2007, tersiar berita bahwa gedung bioskop ini akan dijual.
Lahan dan bangunannya ditawarkan dengan harga Rp 15 juta per m² atau total
sekitar Rp 151,099 milyar. Namun belum sempat hal tersebut terealisasi, bioskop
Megaria 21 kini telah mengalami sejumlah pembaharuan, dan namanya diubah
menjadi Metropole XXI.
Berdasarkan catatan sejarah, bioskop Megaria merupakan hasil rancangan
Johannes Martinus (Han) Groenewegen, arsitek Belanda kelahiran Den Haag tahun 1888 yang tinggal di Jakarta sampai
dengan akhir hayatnya hingga tahun 1980. (Media Indonesia/VIVAnews)
Namun di dalam sumber lain, bioskop Metropole dirancang oleh Liauw Goan
Seng (sebelum dikoreksi cucunya, Ifke M. Laquais pada 2007, Liauw Goan Seng
disebut Lauw Goan Sing) yang meninggalkan Indonesia pada 1958 untuk pindah ke
Belanda ketika terjadi naturalisasi. Oleh Liauw Goan Seng, bioskop Metropole
dirancang dengan gaya arsitektur Art Deco—dari kata Art Decorative—sebagai
bagian perkembangan arsitektur dunia Art Nouveau. Tidak seperti Art Nouveau
yang ditandai dengan banyaknya ornamen dekoratif, seperti kaca mozaik, gambar,
serta ukiran, unsur kerumitan pada Art Deco jauh berkurang dan menjadi lebih
sederhana. (Kaskus/Media Indonesia)
Dengan menggunakan blower dan
exhaust, bioskop berkapasitas 1.446
penonton ini cukup nyaman pada masanya. Ia pun tak sendirian di atas lahan
seluas 11.623 m² itu. Seperti bioskop Capitol dan Menteng, area bioskop
Metropole dikelilingi oleh toko-toko dan tempat hiburan. Di lantai atas bioskop
terdapat ruang dansa. Di samping kanan bioskop ada toko-toko tekstil. (Kaskus/Media
Indonesia)
Bioskop Metropole: Bioskop Megaria |
Pada awal 1950-an itu, sebagai salah satu bioskop berkelas, bioskop
Metropole juga tergabung dalam organisasi antarbioskop kelas satu. Salah satu
organisasi yang paling terkenal adalah United Cinemas Combination, yang terdiri
dari bioskop Menteng, Astoria, Capitol, Cinema Grand, Happy, Sin Thu, dan
Globe. Bioskop Metropole sendiri, bersama Bioskop Cathay, Garden Hall,
Mayestic, Orion, Roxy, dan Podium tergabung dalam Independent Cinemas.
Bioskop-bioskop kelas satu itu memutar film-film produksi Paramount, United
Artists, J. Arthur Rank, maupun MGM (Metro Goldwyn Mayer). Bioskop Metropole
sendiri banyak memutar film-film produksi MGM.
Namun banyaknya film-film Amerika yang diputar di bioskop Metropole,
tak mencegah bioskop ini berperan penting dalam perkembangan film Indonesia.
Pada 1955, film Krisis (Usmar Ismail,
1955) diputar di bioskop Metropole. Pemutaran film ini merupakan salah satu
fenomena dalam sejarah film Indonesia. Awalnya film Krisis, buah karya Usmar
Ismail (1921-1971) yang kemudian dinobatkan sebagai Bapak Film Indonesia,
hendak diputar di Capitol Theater. Pada 1950-an itu, bahkan sampai 1970-an,
memutar film Indonesia di bioskop kelas satu sangat sulit karena film Indonesia
hanya diputar di bioskop-bioskop kelas C. Keyakinan Usmar Ismail atas Krisis
kemudian ditampik dengan hinaan oleh Weskin, manajer Capitol Theater hingga
kabarnya, Usmar Ismail tak bisa menahan diri lalu memukulnya. Film Krisis lalu
disambut Lie Khik Hwie, manajer utama Bioskop Metropole, sekalipun perwakilan
MGM di Indonesia keberatan. Lie Khik Hwie tak gentar, ia mengatakan bahwa MGM
yang tak memiliki saham sesenpun tak berhak mengaturnya, dan mengancam akan
merobek kontrak dengan MGM. Pihak MGM lalu membiarkan film Krisis menggeser
jadwal film-film distribusinya, dan ternyata film itu sukses besar. Memecahkan
rekor penonton film Terang Boelan
(Albert Balink, 1937), Krisis menjadi film Indonesia pertama yang bisa sukses
di bioskop kelas satu, hingga diputar selama lima minggu, melebihi film Barat.
Terbukanya kesempatan bagi film Indonesia bisa diputar di Bioskop
Metropole, pada akhirnya memang tak berimbas ke semua film Indonesia. Bioskop
tetap memperhitungkan larisnya penjualan tiket. Namun Bioskop Metropole pada
1955, bersama sejumlah bioskop lain, sempat menjadi salah satu bioskop yang
turut memutar film-film peserta Festival Film Indonesia I yang berlangsung pada
30 Maret-5 April 1955, menjelang Pemilu pertama Indonesia. Sementara pada
1970, bioskop Metropole, yang kala itu sudah berganti nama menjadi Megaria,
juga menjadi salah satu bioskop penunjang pelaksanaan Festival Film Asia ke-16
pada April-Mei 1970, di mana Jakarta menjadi tuan rumah festival. Selain
Bioskop Megaria, bioskop lain penunjang festival tersebut adalah Apollo, Star,
City, Gelora, Menteng, Royal, Krekot, Satria, dan Orient.
Present
Selain sebuah bioskop di kompleks ini juga terdapat sejumlah pertokoan
dan restoran. Perusahaan 21 Cineplex juga memiliki XXI Garden Cafe yang
terletak di gedung ini. Penyewa lainnya termasuk arena biliar, pangkas rambut,
restoran pempek, restoran masakan China, dan restoran ayam bakar Solo. Di
belakang gedung ini terdapat pula sebuah bioskop kecil dengan dua ruang
pertunjukan, serta sebuah gedung yang disewakan sebagai pasar swalayan.
Bioskop Metropole: Pempek Megaria |
Bioskop Metropole: XXI Garden Cafe |