Pages

Monday, October 10, 2011

Bioskop Metropole

Jejak sejarah terkisah di sebuah bangunan kuno yang terletak di Jalan Diponogoro, Jakarta Pusat ini. Berbeda dengan bangunan bersejarah lainnya, bangunan ini memang mengkhususkan untuk tempat khusus pertunjukan film.
Bioskop Metropole di Kota Jakarta adalah sebuah gedung bioskop bersejarah yang dibangun pada tahun 1932 dengan nama Bioscoop Metropool, sesuai dengan ejaan bahasa Belanda pada waktu itu. (Media Indonesia/Wikipedia)
Bioskop Metropole: Megaria 21
Gedung ini mulai dibangun pada 11 Agustus 1949 dan rampung sekaligus mulai dioperasikan sebagai bioskop yang diberi nama Metropole pada tahun 1951. Peresmian bioskop dihadiri oleh Rahmi Rachim, istri Wakil Presiden Mohammad Hatta; Sultan Hamengkubuwono IX (1912-1988), dan Haji Agus Salim (1884-1954), dengan menampilkan film Annie Get Your Gun (George Sidney, 1950) sebagai pemutaran perdana. (Kaskus/VIVAnews)
Pada 1951, gedung dan lahan seluas 11.623 m² ini dimiliki oleh PT Bioskop Metropole. Pada 1960, Presiden Soekarno memerintahkan penggantian semua nama yang berbau asing, karena itu Bioskop Metropool pun berganti nama menjadi Bioskop Megaria. Pada 1989 gedung bioskop ini disewakan oleh PT Bioskop Metropole kepada jaringan 21 Cineplex, yang mengubah rancangan dalam gedung itu sehingga menjadi 6 bioskop mini dengan kapasitas tempat duduk sektiar 50 kursi setiap ruangannya. Namanya pun sempat berubah menjadi Megaria 21.
Bioskop Metropole: Metropole XXI
Bioskop Megaria adalah bioskop tertua dan merupakan satu-satunya bangunan besar bergaya arsitektur Art Deco di Jakarta. Peninggalan arsitektur ini merupakan Cagar Budaya Kelas A, mengingat usianya yang sudah lebih dari 50 tahun, berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No. 475 Tahun 1993. Terletak di sudut Jalan Pegangsaan dan Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, lokasi bioskop Megaria sangat strategis, karena merupakan pertemuan dari arah Bundaran Hotel Indonesia, Cikini, Matraman, dan Manggarai. Bioskop yang berkapasitas 1.700 penonton ini adalah salah satu bioskop terbesar dan tertua di Jakarta yang masih bertahan hingga sekarang. (Wikipedia)
Pada awal 2007, tersiar berita bahwa gedung bioskop ini akan dijual. Lahan dan bangunannya ditawarkan dengan harga Rp 15 juta per m² atau total sekitar Rp 151,099 milyar. Namun belum sempat hal tersebut terealisasi, bioskop Megaria 21 kini telah mengalami sejumlah pembaharuan, dan namanya diubah menjadi Metropole XXI.
Flashback
Berdasarkan catatan sejarah, bioskop Megaria merupakan hasil rancangan Johannes Martinus (Han) Groenewegen, arsitek Belanda kelahiran Den Haag  tahun 1888 yang tinggal di Jakarta sampai dengan akhir hayatnya hingga tahun 1980. (Media Indonesia/VIVAnews)
Namun di dalam sumber lain, bioskop Metropole dirancang oleh Liauw Goan Seng (sebelum dikoreksi cucunya, Ifke M. Laquais pada 2007, Liauw Goan Seng disebut Lauw Goan Sing) yang meninggalkan Indonesia pada 1958 untuk pindah ke Belanda ketika terjadi naturalisasi. Oleh Liauw Goan Seng, bioskop Metropole dirancang dengan gaya arsitektur Art Deco—dari kata Art Decorative—sebagai bagian perkembangan arsitektur dunia Art Nouveau. Tidak seperti Art Nouveau yang ditandai dengan banyaknya ornamen dekoratif, seperti kaca mozaik, gambar, serta ukiran, unsur kerumitan pada Art Deco jauh berkurang dan menjadi lebih sederhana. (Kaskus/Media Indonesia)
Dengan menggunakan blower dan exhaust, bioskop berkapasitas 1.446 penonton ini cukup nyaman pada masanya. Ia pun tak sendirian di atas lahan seluas 11.623 m² itu. Seperti bioskop Capitol dan Menteng, area bioskop Metropole dikelilingi oleh toko-toko dan tempat hiburan. Di lantai atas bioskop terdapat ruang dansa. Di samping kanan bioskop ada toko-toko tekstil. (Kaskus/Media Indonesia)
Bioskop Metropole: Bioskop Megaria
Selain kemegahan arsitektur, kesejukan ruangan, dan fasilitas lain dalam kompleksnya, faktor penting yang membuat bioskop Metropole menjadi salah satu bioskop kelas satu saat itu adalah karena bioskop ini memutar film-film populer Amerika. Dari War and Peace (King Vidor, 1956) sampai Gone with the Wind (Victor Fleming, 1939), maupun aksi si pirang Marilyn Monroe atau Robert Mitchum pernah dinikmati di gedung bioskop ini.
Pada awal 1950-an itu, sebagai salah satu bioskop berkelas, bioskop Metropole juga tergabung dalam organisasi antarbioskop kelas satu. Salah satu organisasi yang paling terkenal adalah United Cinemas Combination, yang terdiri dari bioskop Menteng, Astoria, Capitol, Cinema Grand, Happy, Sin Thu, dan Globe. Bioskop Metropole sendiri, bersama Bioskop Cathay, Garden Hall, Mayestic, Orion, Roxy, dan Podium tergabung dalam Independent Cinemas. Bioskop-bioskop kelas satu itu memutar film-film produksi Paramount, United Artists, J. Arthur Rank, maupun MGM (Metro Goldwyn Mayer). Bioskop Metropole sendiri banyak memutar film-film produksi MGM.
Namun banyaknya film-film Amerika yang diputar di bioskop Metropole, tak mencegah bioskop ini berperan penting dalam perkembangan film Indonesia. Pada 1955, film Krisis (Usmar Ismail, 1955) diputar di bioskop Metropole. Pemutaran film ini merupakan salah satu fenomena dalam sejarah film Indonesia. Awalnya film Krisis, buah karya Usmar Ismail (1921-1971) yang kemudian dinobatkan sebagai Bapak Film Indonesia, hendak diputar di Capitol Theater. Pada 1950-an itu, bahkan sampai 1970-an, memutar film Indonesia di bioskop kelas satu sangat sulit karena film Indonesia hanya diputar di bioskop-bioskop kelas C. Keyakinan Usmar Ismail atas Krisis kemudian ditampik dengan hinaan oleh Weskin, manajer Capitol Theater hingga kabarnya, Usmar Ismail tak bisa menahan diri lalu memukulnya. Film Krisis lalu disambut Lie Khik Hwie, manajer utama Bioskop Metropole, sekalipun perwakilan MGM di Indonesia keberatan. Lie Khik Hwie tak gentar, ia mengatakan bahwa MGM yang tak memiliki saham sesenpun tak berhak mengaturnya, dan mengancam akan merobek kontrak dengan MGM. Pihak MGM lalu membiarkan film Krisis menggeser jadwal film-film distribusinya, dan ternyata film itu sukses besar. Memecahkan rekor penonton film Terang Boelan (Albert Balink, 1937), Krisis menjadi film Indonesia pertama yang bisa sukses di bioskop kelas satu, hingga diputar selama lima minggu, melebihi film Barat.
Terbukanya kesempatan bagi film Indonesia bisa diputar di Bioskop Metropole, pada akhirnya memang tak berimbas ke semua film Indonesia. Bioskop tetap memperhitungkan larisnya penjualan tiket. Namun Bioskop Metropole pada 1955, bersama sejumlah bioskop lain, sempat menjadi salah satu bioskop yang turut memutar film-film peserta Festival Film Indonesia I yang berlangsung pada 30 Maret-5 April 1955, menjelang Pemilu pertama Indonesia. Sementara pada 1970, bioskop Metropole, yang kala itu sudah berganti nama menjadi Megaria, juga menjadi salah satu bioskop penunjang pelaksanaan Festival Film Asia ke-16 pada April-Mei 1970, di mana Jakarta menjadi tuan rumah festival. Selain Bioskop Megaria, bioskop lain penunjang festival tersebut adalah Apollo, Star, City, Gelora, Menteng, Royal, Krekot, Satria, dan Orient.
Present
Selain sebuah bioskop di kompleks ini juga terdapat sejumlah pertokoan dan restoran. Perusahaan 21 Cineplex juga memiliki XXI Garden Cafe yang terletak di gedung ini. Penyewa lainnya termasuk arena biliar, pangkas rambut, restoran pempek, restoran masakan China, dan restoran ayam bakar Solo. Di belakang gedung ini terdapat pula sebuah bioskop kecil dengan dua ruang pertunjukan, serta sebuah gedung yang disewakan sebagai pasar swalayan.
Bioskop Metropole: Pempek Megaria
Di sini juga terdapat kantor sekuriti Metropole, induk dari bioskop Megaria 21. Bagian belakang gedung bioskop, dekat tempat parkir kendaraan bermotor yang kini menjadi studio 5 dan 6, dimana dulunya adalah perumahan militer.
Bioskop Metropole: XXI Garden Cafe
Di sebelahnya terdapat Hero Supermarket. Menurut keterangan, pemilik gedung bioskop Megaria, pada tahun 1970-an dan 1980-an, juga membangun Bioskop New Garden Hall yang kini berubah menjadi pertokoan Blok M Plaza.

(Kaskus/Media Indonesia/VIVAnews/Wikipedia)