Pages

Monday, December 12, 2011

Planetarium dan Observatorium Jakarta

Planetarium Jakarta dibangun dan dihadiahkan kepada rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Jakarta, oleh Pemerintah Indonesia atas gagasan Presiden Soekarno dan diserahkan ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 1969. Dasar filosofis pendiriannya ialah agar ilmu pengetahuan bangsa Indonesia bertambah, khususnya tentang jagad raya (astronomi) dan sedikit demi sedikit menghilangkan tahayul. Presiden berharap Planetarium dapat menjadi salah satu sarana untuk mengejawantahkan program Nation Building.
Planetarium dan Observatorium Jakarta adalah satu dari tiga wahana simulasi langit di Indonesia selain di Kutai, Kalimantan Timur, dan Surabaya, Jawa Timur. Planetarium tertua ini letaknya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Planetarium Jakarta merupakan sarana wisata pendidikan yang dapat menyajikan pertunjukan/peragaan simulasi perbintangan atau benda-benda langit. Pengunjung diajak mengembara di jagat raya untuk memahami konsepsi tentang alam semesta melalui acara demi acara.
Berkat sumbangan dana Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) dan lembaga pemerintah, Planetarium dibangun di tempat bekas Kebun Binatang Taman Raden Saleh (Cikini-Jakarta Pusat, yang kini di lokasi Taman Ismail Marzuki). Peralatan berupa proyektor dengan segala kelengkapannya termasuk teleskop (teropong bintang) guna pembangunan observatorium, dibeli dari perusahaan optik Carl Zeiss-Jena (Jerman). Sedangkan arsitekturnya adalah karya putra Indonesia.
Flashback
Perusahaan-perusahaan swasta yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) bersedia membiayai pembangunan gedung Planetarium Jakarta. Berdasarkan sebuah catatan GKBI menyediakan dana sebesar Rp 1,67 milyar. Dana ini akan diturunkan secara berangsur tiga kali untuk membiayai pembangunan gedung planetarium tahun 1964, 1965, dan 1966. Biaya untuk pembelian mesin proyektor planetarium dan teropong bintang dari perusahaan Carl Zeiss-Jerman sebesar US$ 1,5 juta ditanggung sebuah yayasan yang sengaja dibentuk Bung Karno untuk menghimpun dana-dana komisi yang biasanya didapat dari pembelian suatu barang ke luar negeri- untuk mendanai berbagai keperluan pembangunan. Pembiayaan dan pelaksanaan pembangunan Proyek Planetarium Jakarta diatur dalam surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 155 tahun 1963 yang ditandatangani Presiden pada 26 Juli 1963.
Planetarium Jakarta
Saat pemancangan batu pertama (9 September 1964), Bung Karno di akhir pidato berkata, "Lapangan politik kita kejar, lapangan ilmu pengetahuan kita kejar, agar supaya kita benar-benar dalam waktu yang singkat bisa bernama bangsa Indonesia yang besar!" Dalam sambutannya (17 Agustus 1965), Santoso Nitisastro dari Observatorium Bosscha Lembang pun mengatakan, "Semoga Planetarium Jakarta ini dapat merupakan alat yang ampuh bagi revolusi rakyat Indonesia dalam perjuangannya mengemban amanat penderitaan rakyatnya!"
Akhir tahun 1964 pembangunan gedung planetarium mulai dilaksanakan. Gedung Planetarium Jakarta dirancang empat lantai, seperti tergambar pada maket awal. Satu kubah planetarium di tengahnya tergabung dengan bangunan silinder di bawahnya (ruang pameran kini) dan dikelilingi oleh bangunan luas. Ada ruang untuk observatorium, ada ruang teater untuk pendidikan dan ada pula lapangan parkir yang luas. Pada awal pendirian Planetarium Jakarta, belum berdiri pusat kesenian Taman Ismail Marzuki.
Dalam pembangunannya, pembangunan Planetarium Jakarta sempat terhenti karena suasana politik negara yang kacau, terutama ketika pecah pemberontakan G30S/PKI. Dana dari GKBI tidak lagi lancar mengalir. GKBI hanya mengeluarkan sebagian saja dari yang telah dianggarkannya. Untunglah kemudian pada akhir 1967 pembangunan Planetarium Jakarta kembali dilanjutkan sedikit demi sedikit, dibantu dengan dana dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta.Sayang pembangunannya terhenti saat pecah peristiwa G30S/PKI, tetapi akhir 1967 dilanjutkan lagi dan selesai 20 November 1968. Pengelolaannya diserahkan kepada Gubernur Jakarta yang saat itu dijabat oleh Bang Ali. Direkturnya ditunjuk oleh Presiden yang akhirnya terpilih Santoso Nitisastro. Beliau bisa dianggap sebagai direktur pertama Planetarium Jakarta yang mulai dibuka untuk umum pada tanggal 1 Maret 1969 (dianggap sebagai hari ulang tahun Planetarium Jakarta).
Akhirnya setelah gedung planetarium dan pemasangan proyektor serta perlengkapan lainnya berhasil diselesaikan, pada tanggal 20 November 1968 diresmikanlah Planetarium dan Observatorium Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta kala itu, Ali Sadikin, bersamaan dengan diresmikannya Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki. Seluruh aset milik proyek diserahterimakan oleh Prof. Ir. Rooseno selaku pimpinan dan pengawas proyek kepada Gubernur Kepala DKI Jakarta. Ketika penyerahterimaan tersebut, keadaan planetarium Jakarta belum sempurna dan masih sangat sederhana. Sejak tanggal 20 November 1968 itu pula pengelolaan Proyek Planetarium dan Observatorium Jakarta diserahkan kepada Bapak Santoso Nitisastro dari Observatorium Bosscha-Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung, yang juga ditunjuk langsung oleh Bung Karno. Sebelumnya sempat ditawari kepada Prof. The Pik Sin dari Observatorium Bosscha untuk menjadi direktur Planetarium, namun karena harus pindah ke Belanda ia menolak halus tawaran tersebut.
Planetarium Jakarta: Planetarium Jakarta Masa Lalu
Selang beberapa bulan sejak peresmiannya, Planetarium Jakarta menggelar pertunjukan perdananya, tepatnya pada tanggal 1 Maret 1969—tanggal yang kemudian ditetapkan sebagai tanggal jadinya. Keadaan fisik Planetarium Jakarta waktu itu masih jauh dari yang diharapkan. Walaupun demikian sederhana, Planetarium Jakarta tetap berhasil memukau penontonnya. Pada tahun-tahun pertamanya hanya ada bangunan silinder beratap kubah, tempat untuk pertunjukan teater bintang dengan proyektor yang dibeli dari Jerman dan 500 buah kursi di dalamnya, serta beberapa ruang-ruang kecil lainnya. Tugas utama Planetarium Jakarta sejak pertunjukan perdananya saat itu adalah menyelenggarakan pertunjukan (star show) secara teratur menurut jadwal waktu yang telah ditetapkan. Selama enam hari dalam satu minggu Planetarium Jakarta dibuka untuk umum.
Pada tahun 1975 teleskop Coude, yang sebenarnya telah dimiliki sejak awal sekitar tahun 1964-an, dipasang pada sebuah bangunan berlantai dua, di luar gedung Planetarium tetapi tidak jauh darinya. Teleskop tersebut digunakan untuk pengamatan dan pemotretan Matahari. Pengunjung boleh juga mengamat dengan teleskop tersebut. Tetapi, pada tahun 1982, teleskop Coude terpaksa harus dipindah tempatnya karena lahan yang digunakan untuk bangunan teleskop tersebut sejak 1975 ternyata bukan milik Planetarium Jakarta dan diminta pemiliknya. Teleskop Coude dibongkar kemudian ditempatkan pada bangunan sekitar gedung planetarium.
Pada sekitar tahun 1977-1979 Planetarium Jakarta sempat mengajukan pendirian perpustakaan. Namun, usul ini tidak langsung dikabulkan. Pemerintah Daerah DKI Jakarta waktu itu lebih menyetujui pendirian sebuah gedung arsip, bersebelahan dengan Planetarium Jakarta karena ketika itu tidak ada tempat penyimpanan arsip. Walaupun ruang perpustakaan belum dapat segera terwujud, pengumpulan dan penyimpanan materi atau bahan-bahan perpustakaan tetap giat dilakukan. Akhirnya pada tahun 1982 ruang perpustakaan mulai diwujudkan, bersama-sama dengan studio sound system, gedung permanen untuk ruang kerja, dll.
Sejak tahun 1979 sebagian dana dari Pemda DKI Jakarta digunakan untuk mencetak booklet. Selain booklet, dicetak juga brosur acara, folder maupun poster. Sebenarnya bentuk kegiatan publikasi Planetarium Jakarta sudah dimulai sebelum itu. Pada sepuluh tahun pertama, Planetarium Jakarta terpublikasikan melalui tayangan acara ilmu pengetahuan di TVRI, kerjasama dengan LIPI dan TVRI. Brosur dan leaflet juga telah dibuat, tapi dalam bentuk yang sangat sederhana.
Planetarium Jakarta: Salah Satu
Teleskop di Planetarium Jakarta
Sekitar tahun 1982 Bapak Darsa Soekartadiredja mengusulkan pembelian teleskop portable kecil kepada Pemda DKI Jakarta. Teleskop ini akan dipergunakan untuk pengamatan di luar kota Jakarta dalam peristiwa Gerhana Matahari Total, yang sebelumnya telah diperkirakan akan terjadi pada bulan Juni tahun 1983. Teleskop yang dapat berpindah ini tentunya sangat berguna terutama untuk peristiwa astronomis yang jarang terjadi dan hanya dapat diamati di daerah tertentu. Seperti halnya Gerhana Matahari Total yang hanya dapat diamati pada sebagian daerah. Pemda DKI Jakarta mengabulkannya.
Tahun 1984, Pemerintah DKI Jakarta membentuk organisasi penyelenggara fungsi dan tugas-tugas planetarium dan observatorium, yaitu Badan Pengelola Planetarium dan Observatorium Pemerintah DKI Jakarta. Kepala Badan Pengelola mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas-tugasnya langsung kepada Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Perubahan status ini tertuang dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2209 Tahun 1984. Dan setelah melewati usia 27 tahun (1996), dilakukan pemutakhiran proyektor dan perbaikan sarana atau fasilitas pendukungnya.
Penambahan sarana pendukung gedung Planetarium Jakarta tetap dilakukan guna meningkatkan efektifitas Planetarium Jakarta dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Pada tahun 1991 gedung Planetarium Jakarta diperluas untuk memenuhi kebutuhan ruang kerja, ruang rapat, ruang kelas, ruang studio audio visual dan ruang pameran. Dana perawatan dan rehabilitasi gedung-gedung yang ada diambil dari dana anggaran pembangunan yang dianggarkan untuk Planetarium Jakarta. Pada tahun 1994 Pemda DKI Jakarta akhirnya menyetujui pembelian teropong bintang bergaris tengah 31 cm. Teropong bintang ini digunakan untuk mengganti teropong yang kecil dan sudah tua. Dengan adanya teropong baru ini diharapkan dapat menunjang kegiatan peneropongan untuk umum dengan lebih baik.
Pada tahun 1996, Badan Pengelola Planetarium dan Observatorium Jakarta melakukan renovasi gedung sekaligus pemutakhiran peralatan pertunjukan dengan mengganti proyektor utama dengan yang lebih canggih dan dikontrol sepenuhnya oleh program komputer. Proyektor Universal diganti dengan Proyektor Universarium Model VIII, bahan layar kubah diganti dengan yang baru dan garis tengahnya dikurangi dari 23 m menjadi 22 m. Lantainya ditinggikan dan dibuat bertingkat. Seluruh kursi dibuat menghadap ke arah Selatan dan jumlahnya dikurangi dari 500 ke 320 kursi. (Wikipedia/Wisata Hemat Indonesia)
Planetarium Jakarta
Mulai tahun 1998 direncanakan menambah fasilitas pertunjukan alternatif yaitu slide show yang menggunakan fasilitas multimedia di dalam gedung pertunjukan baru. Animasi dinamika alam semesta ditampilkan dengan suasana mirip bioskop. Namun untuk masa mendatang bukan hanya slide show saja, melainkan digabung dengan video film, laser disk, dan CD-ROM.
Pada tahun 2002, Badan Pengelola Planetarium dan Observatorium Jakarta mengalami perubahan status dari organisasi nonstruktural menjadi organisasi struktural berupa Unit Pelaksana Teknis di bawah Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Provinsi DKI Jakarta. Perubahan status ini tertuang dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 118 Tahun 2002.
Present
Dalam gedung pertunjukan utama (planetarium) berkapasitas sekitar 300 kursi, penonton dapat melihat peragaan/simulasi langit baik langit siang maupun malam hari. Wajah langit tiruan ini diproyeksikan ke kubah setengah bola bergaris tengah 22 m di atas penonton melalui proyektor Universarium Model VIII. (Museum Sebagai Tempat Tujuan Wisata)
Selain pertunjukan Teater Bintang dan multimedia/citra ganda, Planetarium & Observatorium Jakarta juga menyediakan sarana prasarana observasi benda-benda langit melalui peneropongan secara langsung, untuk menyaksikan fenomena/kejadian-kejadian alam lainnya, seperti gerhana bulan, gerhana matahari, komet dan lain-lain.
Adanya 3 teleskop memungkinkan mengadakan kegiatan pengamatan benda langit sebagai fungsi ke-observatorium-annya. Baik dalam bentuk penelitian (observasi ilmiah skala kecil), kegiatan khusus untuk masyarakat umum/awam (peneropongan umum), maupun gabungan keduanya sebagai partisipasi aktif untuk memupuk minat masyarakat. Dalam hal ini, fungsi BP Planetarium & Observatorium adalah sebagai tempat wisata ilmiah (edutainment: pendidikan dan hiburan). Lainnya adalah bimbingan karya tulis, membina kerja sama dengan instansi lain seperti Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung, Observatorium Bosscha Lembang, LAPAN, Departemen Agama, institut terkait dari manca negara; serta tidak lupa untuk membina organisasi amatir astronomi dimana siapapun dapat bergabung didalamnya (Himpunan Astronomi Amatir Jakarta/HAAJ).
Planetarium Jakarta
Jadwal peneropongan umum biasanya disusun bersamaan dengan jadwal pertunjukan malam hari dan tentu saja dengan mempertimbangkan kondisi cuaca (idealnya cerah, tak berawan). Setiap bulan diadakan 2 kali (2 hari berturutan) dan tidak dipungut biaya apapun. Namun, tidak menutup kemungkinan mengadakan kegiatan ini di luar jadwal yang telah ada—semisal ada peristiwa astronomis yang menarik seperti gerhana matahari atau bulan, penampakan komet, dsb.
Sebagai penunjang pertunjukan planetarium, terdapat ruang pameran dimana disajikan materi dalam ujud lukisan, photo serta keterangan lengkap dari berbagai bentuk galaksi, film video, miniatur benda langit ataupun wahana antariksa, teori-teori pembentukan galaksi disertai pengenalan tokoh-tokoh di balik munculnya teori, dsb.
Di ruang pameran ini, ada juga pajangan baju antariksa yang digunakan mengarungi angkasa, termasuk mendarat di bulan. Beberapa peralatan lain untuk pengamatan antariksa turut dipamerkan.
Planetarium Jakarta juga memiliki fasilitas kelas untuk menjalin interaksi lebih aktif antara pengunjung dan staf dalam penyebarluasan astronomi secara populer. Fasilitas kelas ini pula yang memungkinkan planetarium menyelenggarakan kegiatan lain seperti seminar dan penataran astronomi.
Hingga kini Planetarium Jakarta masih setia bertahan untuk melakukan tugas mulianya, mendidik bangsanya menjadi bangsa yang melek ilmu, sesuai dengan cita-cita para Bapak Bangsanya dahulu. Pembenahan dan peningkatan senantiasa dilakukan. Teater bintang masih memainkan adegan pergerakan langit semu yang sesuai setiap waktunya, dengan monolog menarik yang tak lupa memberi cuplikan kisah-kisah tentang langit. Dari kisah Joko Belek yang sakit mata di Tanah Jawa hingga Orion si Pemburu dari Yunani. Tak perlu malu-malu lagi berkenalan dengan langit, mari berkunjung ke planetarium.

No comments:

Post a Comment