Pages

Saturday, December 29, 2012

Gedung Perundingan Linggarjati

Gedung Perundingan Linggarjati yang terletak di kaki Gunung Ceremai Kabupaten Kuningan menyimpan sejarah lama perjalanan bangsa Indonesia. Perundingan pertama kali antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Belanda pada 10-13 November 1946, mengukir nama Linggarjati, sebuah desa kecil yang sejuk dan jauh dari keramaian.
Secara astronomis Gedung Perundingan Linggarjati terletak pada koordinat 06º52’7” LS dan 108º28’9” BT. Terletak sekitar 15 kilometer dari Kota Kuningan dan 20 kilometer dari Kota Cirebon. Letaknya berada di bawah kaki Gunung Ceremai, di ketinggian 400 mdpl. Termasuk Desa Linggarjati, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan. Gedung Perundingan Linggarjati ini memiliki luas 500 m² dan memiliki halaman yang luas sekitar 2,5 ha.
Flashback
Gedung ini pertama kali dibangun oleh Tuan Mergen atau yang dikenal juga dengan sebutan Tuan Tersana sekitar tahun 1921. Tuan Tersana adalah pemilik pabrik gula Tersana Baru di daerah Cirebon. Setelah mengawini seorang janda kembang bernama Jasitem, konon ia kemudian membangun rumah peristirahatan semi permanen di desa Linggarjati untuk istrinya. Kawasan Linggarjati memang cocok untuk lokasi rumah peristirahatan atau vila, sebab daerah yang berada di ketinggian sekitar 400 m dpl ini cukup sejuk dengan latar belakang pemandangan Gunung Ciremai yang indah.
Gedung Perundingan Linggarjati
Pada tahun 1930, rumah ini dibeli oleh keluarga Belanda bernama Van Ost Dome yang kemudian merombak bangunannya menjadi bangunan permanen. Setelah dibeli Van Ost Dome, pada tahun 1935 rumah persitirahatan ini disewakan kepada Heiker, seorang Belanda yang memfungsikan rumah tersebut sebagai hotel dengan nama Hotel Rustoord. Usaha perhotelan ini cukup berkembang sampai kedatangan balatentara Jepang sekitar tahun 1942. Pada zaman pendudukan Jepang, Hotel Rustoord berganti nama menjadi Hotel Hokay Ryokan. Namun kekuasaan Jepang tidak berlangsung lama, karena mereka kalah pada Perang Dunia II dan harus berkemas kembali ke negaranya. Oleh sebab itu, sejak 1945 Hotel Hokay Ryokan kemudian dinasionalisasi menjadi Hotel Merdeka. Ciri khas bangunan hotel ini masih nampak hingga saat ini, misalnya pembagian ruangan, kamar, serta ruang pertemuan yang masih mirip hotel jaman dulu.
Usai Perang Dunia II, Belanda membonceng Sekutu untuk kembali menguasai kawasan Hindia Belanda. Namun, pihak Sekutu yang dipimpin Inggris mencoba menengahi ketegangan antara Belanda dan Indonesia dengan memfasilitasi berbagai perundingan, salah satunya Perundingan Linggarjati. Lantas siapa yang memilih bangunan ini sebagai tempat perundingan antara Indonesia dan Belanda pada 1946? Usulan tersebut ternyata dicetuskan oleh Maria Ulfah Santoso, Menteri Sosial pada Kabinet Sjahrir II yang berasal dari Kabupaten Kuningan. Menurut pendapat Maria Ulfah, lokasi gedung tersebut cukup kondusif untuk perundingan, dan cukup dekat jaraknya dengan Jakarta, sehingga memudahkan transportasi presiden dan wakil presiden menuju Kuningan, apabila sewaktu-waktu diperlukan mendadak. Usul Maria Ulfah ini disetujui oleh Sjahrir, Perdana Menteri dan sekaligus ketua delegasi perundingan dari Indonesia.
Setelah sempat menjadi lokasi perundingan penting, Gedung Perjanjian Linggarjati ini pernah juga difungsikan sebagai markas militer Belanda pada saat terjadi Agresi Militer Belanda II. Salah satu divisi yang pernah menggunakan gedung ini adalah Divisi Zeven December, salah satu divisi yang bertugas di Jawa Barat pada 1946 sampai 1949. Untuk mengenang tempat-tempat yang penuh kenangan sejarah itu, para veteran Divisi Zeven December yang masih hidup pernah mengunjungi Gedung Perjanjian Linggarjati untuk sekedar bernostalgia.
Gedung Perundingan Linggarjati: Sebuah Potret Masa Lalu
Usai Agresi Militer Belanda, gedung bersejarah ini kemudian difungsikan sebagai gedung Sekolah Dasar Negeri (SDN) Linggarjati, sekitar tahun 1950-1975. Pada saat difungsikan sebagai sekolah, kondisi gedung makin tidak terawat. Ketika Bung Hatta dan Ibu Sjahrir (istri Sutan Sjahrir) berkunjung untuk melihat kondisinya, gedung ini sudah nampak sangat memprihatinkan, sehingga Bung Hatta menjanjikan renovasi. Namun, renovasi tak kunjung terjadi, hingga akhirnya Gedung Perjanjian Linggarjati diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan museum pada tahun 1976. Selain direnovasi sebagai museum, pemerintah juga menetapkan Gedung Perjanjian Linggarjati sebagai salah satu bangunan cagar budaya yang dilindungi, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992.
Present
Seluruh areal bangunan Gedung Linggarjati dibatasi oleh pagar. Dinding luar pagar bagian bawah, mengelilingi bangunan ditutup dengan lempengan batu hitam. Di depan pintu masuk ruang sidang terdapat bangunan yang menjorok kearah jalan beratap genting. Pintu masuk ruang dalam atau ruang sidang memiliki dua daun pintu dengan bahan dari kaca. Di kiri kanan pintu tersebut terdapat jendela yang tertutup kaca.
Di dalam gedung, pengunjung dibawa ke suasana tahun 1946, karena semua kasur, kursi kamar dan meja terbuat dari kayu jati dan rasamala di semua ruangan masih utuh. Di dinding gedung terpasang sejumlah foto saat perundingan, diantaranya 2 foto sejumlah wartawan asing yang meliput perundingan ini. Di teras gedung, lantainya masih asli juga tembok pembatas teras. Layaknya sebuah museum di ruang utama perundingan ada diorama saat perundingan berlangsung.
Gedung Perundingan Linggarjati: Diorama
Ruang tengah memang merupakan tempat dilangsungkannya Perundingan Linggarjati. Di tempat inilah delegasi dari Indonesia yang terdiri dari Sutan Sjahrir, Mr. Soesanto Tirtoprodjo, Dr. A. K. Gani, Mr. Muhammad Roem, serta delegasi dari Belanda yang terdiri dari Prof. Ir. Schermerhorn, Mr. Van Poll, Dr. F. DeBoer, serta Dr. Van Mook berunding untuk menyelesaikan sengketa antara negara yang baru merdeka dengan bekas penjajahnya. Selain para perunding, ada juga para notulen, yang terdiri dari Dr. J. Leimena, Dr. Soedarsono, Mr. Amir Sjarifuddin, Mr. Ali Budiardjo, serta seorang penengah utusan Inggris bernama Lord Killearn. Diorama ini dibuat oleh Dinas Pariwisata Jawa Barat sekitar tahun 1986.
Gedung Linggarjati terdiri dari beberapa ruangan, antara lain ruang tamu, ruang tengah, kamar tidur, kamar mandi, dan ruang belakang (dapur). Tiap ruangan dilengkapi dengan perabot, foto-foto, serta berbagai perlengkapan layaknya rumah peristirahatan. Di ruang tengah, misalnya, dipamerkan berbagai foto yang berkaitan dengan Perjanjian Linggarjati serta gambar perkembangan kondisi gedung dari masa ke masa yang sempat diabadikan dengan kamera. Di tempat ini juga masih bisa disaksikan lemari setinggi pinggang serta sebuah piano kuno yang kemungkinan peninggalan pemilik terdahulu ketika bangunan ini difungsikan sebagai hotel. Di samping itu, di ruangan tengah ini juga ditampilkan semacam diorama yang menggambarkan proses perundingan, lengkap dengan meja-kursi dan patung para delegasi perundingan.
Bagian ruang sidang berdenah empat persegi panjang. Dalam ruang nini terdapat meja dan kursi yang digunakan sebagai tempat perundingan. Di sebelah utara dinding ruang sidang terdapat pintu masuk ke gang atau lorong. Gang tersebut berukuran 1,5 m dan berfungsi sebagai penghubung kamar-kamar. Pintu masuk kamar memiliki kisi-kisi dengan motif belah ketupat. Di sebelah utara ruang sidang ini terdapat empat buah kamar tidur, salah satu kamar digunakan untuk Prof. Schemerhon. Disebelah barat ruang sidang terdapat pintu keluar yang menuju halaman gedung ini. Dapur diletakan di sebelah selatan ruang sidang, sedangkan beberapa kamar lagi terdapat di belakang dapur dan untuk mencapainya melewati gang.
Gedung Perundingan Linggarjati: Monumen
Gedung ini memiliki sebelas kamar, salah satunya kamar Lord Killearn, dari Inggris yang menjadi penengah perundingan ini. Ruang perundingan berada ditengah, terdiri dari 3 meja dan 9 kursi, di pojok ruang perundingan ada kursi dan meja notulen. Semua kursi tertulis nama mereka yang duduk sat perundingan berlangsung. Semua meja dan kursi masih asli. Lokasi gedung berada di ketinggian 12 meter dari tempat parkir. Di sekitar gedung ini ditumbuhin berbagai pepohonan rindang, sehingga kesejukan lebih terasa. Dibagian depan terdapat monumen Perundingan Linggarjati degnan relief Sutan Sjahrir (kanan) Lord Killearn di tengah, dan Van Mook (kiri).
Conclusion
Linggarjati di selatan Cirebon, adalah kota kecil di kaki Gunung Ciremai. Sebuah rumah di sini pernah menjadi tempat berlangsungan perundingan yang menghasilkan Perjanjian Linggarjati antara Indonesia-Belanda (11-12 November 1946). Sekarang dikenal sebagai Gedung Perundingan Linggarjati.
Gedung atau Museum Linggarjati sebutannya adalah salah satu saksi sejarah tentang Indonesia yang mencintai kemerdekaan, dan melalui sosok Bung Sjahrir serta kegigihan diplomasinya juga adalah Indonesia yang mencintai damai.
Jika India memiliki Mahatma Gandhi, maka sesungguhnya kita memiliki Bung Sjahrir dan Linggarjati sebagai bagian dari sejarah yang berusaha menempuh jalan untuk mencapai kemerdekaan.

(Disbudpar Jawa Barat/Museum Indonesia/Tempo/Wisata Melayu)
Last Accessed: 29 December 2012

No comments:

Post a Comment