Gedung Perundingan Linggarjati yang terletak di kaki Gunung Ceremai
Kabupaten Kuningan menyimpan sejarah lama perjalanan bangsa Indonesia.
Perundingan pertama kali antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Belanda
pada 10-13 November 1946, mengukir nama Linggarjati, sebuah desa kecil yang
sejuk dan jauh dari keramaian.
Secara astronomis Gedung Perundingan Linggarjati terletak pada
koordinat 06º52’7” LS dan 108º28’9” BT. Terletak sekitar 15 kilometer dari Kota
Kuningan dan 20 kilometer dari Kota Cirebon. Letaknya berada di bawah kaki
Gunung Ceremai, di ketinggian 400 mdpl. Termasuk Desa Linggarjati, Kecamatan
Cilimus, Kabupaten Kuningan. Gedung Perundingan Linggarjati ini memiliki luas
500 m² dan memiliki halaman yang luas sekitar 2,5 ha.
Flashback
Gedung ini pertama kali dibangun oleh Tuan Mergen atau yang dikenal
juga dengan sebutan Tuan Tersana sekitar tahun 1921. Tuan Tersana adalah
pemilik pabrik gula Tersana Baru di daerah Cirebon. Setelah mengawini seorang
janda kembang bernama Jasitem, konon ia kemudian membangun rumah peristirahatan
semi permanen di desa Linggarjati untuk istrinya. Kawasan Linggarjati memang
cocok untuk lokasi rumah peristirahatan atau vila, sebab daerah yang berada di
ketinggian sekitar 400 m dpl ini cukup sejuk dengan latar belakang pemandangan
Gunung Ciremai yang indah.
Gedung Perundingan Linggarjati |
Usai Perang Dunia II, Belanda membonceng Sekutu untuk kembali menguasai
kawasan Hindia Belanda. Namun, pihak Sekutu yang dipimpin Inggris mencoba menengahi
ketegangan antara Belanda dan Indonesia dengan memfasilitasi berbagai
perundingan, salah satunya Perundingan Linggarjati. Lantas siapa yang memilih
bangunan ini sebagai tempat perundingan antara Indonesia dan Belanda pada 1946?
Usulan tersebut ternyata dicetuskan oleh Maria Ulfah Santoso, Menteri Sosial
pada Kabinet Sjahrir II yang berasal dari Kabupaten Kuningan. Menurut pendapat
Maria Ulfah, lokasi gedung tersebut cukup kondusif untuk perundingan, dan cukup
dekat jaraknya dengan Jakarta, sehingga memudahkan transportasi presiden dan
wakil presiden menuju Kuningan, apabila sewaktu-waktu diperlukan mendadak. Usul
Maria Ulfah ini disetujui oleh Sjahrir, Perdana Menteri dan sekaligus ketua
delegasi perundingan dari Indonesia.
Setelah sempat menjadi lokasi perundingan penting, Gedung Perjanjian
Linggarjati ini pernah juga difungsikan sebagai markas militer Belanda pada
saat terjadi Agresi Militer Belanda II. Salah satu divisi yang pernah
menggunakan gedung ini adalah Divisi Zeven December, salah satu divisi yang
bertugas di Jawa Barat pada 1946 sampai 1949. Untuk mengenang tempat-tempat
yang penuh kenangan sejarah itu, para veteran Divisi Zeven December yang masih
hidup pernah mengunjungi Gedung Perjanjian Linggarjati untuk sekedar
bernostalgia.
Gedung Perundingan Linggarjati: Sebuah Potret Masa Lalu |
Present
Seluruh areal bangunan Gedung Linggarjati dibatasi oleh pagar. Dinding
luar pagar bagian bawah, mengelilingi bangunan ditutup dengan lempengan batu
hitam. Di depan pintu masuk ruang sidang terdapat bangunan yang menjorok kearah
jalan beratap genting. Pintu masuk ruang dalam atau ruang sidang memiliki dua
daun pintu dengan bahan dari kaca. Di kiri kanan pintu tersebut terdapat
jendela yang tertutup kaca.
Di dalam gedung, pengunjung dibawa ke suasana tahun 1946, karena semua
kasur, kursi kamar dan meja terbuat dari kayu jati dan rasamala di semua
ruangan masih utuh. Di dinding gedung terpasang sejumlah foto saat perundingan,
diantaranya 2 foto sejumlah wartawan asing yang meliput perundingan ini. Di
teras gedung, lantainya masih asli juga tembok pembatas teras. Layaknya sebuah
museum di ruang utama perundingan ada diorama saat perundingan berlangsung.
Gedung Perundingan Linggarjati: Diorama |
Gedung Linggarjati terdiri dari beberapa ruangan, antara lain ruang
tamu, ruang tengah, kamar tidur, kamar mandi, dan ruang belakang (dapur). Tiap
ruangan dilengkapi dengan perabot, foto-foto, serta berbagai perlengkapan
layaknya rumah peristirahatan. Di ruang tengah, misalnya, dipamerkan berbagai
foto yang berkaitan dengan Perjanjian Linggarjati serta gambar perkembangan
kondisi gedung dari masa ke masa yang sempat diabadikan dengan kamera. Di
tempat ini juga masih bisa disaksikan lemari setinggi pinggang serta sebuah
piano kuno yang kemungkinan peninggalan pemilik terdahulu ketika bangunan ini
difungsikan sebagai hotel. Di samping itu, di ruangan tengah ini juga
ditampilkan semacam diorama yang menggambarkan proses perundingan, lengkap
dengan meja-kursi dan patung para delegasi perundingan.
Bagian ruang sidang berdenah empat persegi panjang. Dalam ruang nini
terdapat meja dan kursi yang digunakan sebagai tempat perundingan. Di sebelah
utara dinding ruang sidang terdapat pintu masuk ke gang atau lorong. Gang
tersebut berukuran 1,5 m dan berfungsi sebagai penghubung kamar-kamar. Pintu
masuk kamar memiliki kisi-kisi dengan motif belah ketupat. Di sebelah utara
ruang sidang ini terdapat empat buah kamar tidur, salah satu kamar digunakan untuk
Prof. Schemerhon. Disebelah barat ruang sidang terdapat pintu keluar yang
menuju halaman gedung ini. Dapur diletakan di sebelah selatan ruang sidang,
sedangkan beberapa kamar lagi terdapat di belakang dapur dan untuk mencapainya
melewati gang.
Gedung Perundingan Linggarjati: Monumen |
Conclusion
Linggarjati di selatan Cirebon, adalah kota kecil di kaki Gunung
Ciremai. Sebuah rumah di sini pernah menjadi tempat berlangsungan perundingan
yang menghasilkan Perjanjian Linggarjati antara Indonesia-Belanda (11-12
November 1946). Sekarang dikenal sebagai Gedung Perundingan Linggarjati.
Gedung atau Museum Linggarjati sebutannya adalah salah satu saksi
sejarah tentang Indonesia yang mencintai kemerdekaan, dan melalui sosok Bung
Sjahrir serta kegigihan diplomasinya juga adalah Indonesia yang mencintai
damai.
Jika India memiliki Mahatma Gandhi, maka sesungguhnya kita memiliki
Bung Sjahrir dan Linggarjati sebagai bagian dari sejarah yang berusaha menempuh
jalan untuk mencapai kemerdekaan.
(Disbudpar Jawa Barat/Museum Indonesia/Tempo/Wisata
Melayu)
Last Accessed: 29 December 2012
No comments:
Post a Comment