Pages

Sunday, February 19, 2012

Keraton Kaibon

Ditinjau dari namanya—Kaibon berarti Keibuan—keraton ini dibangun untuk ibu Sultan Syafiuddin, Ratu Asyiah mengingat pada waktu itu, sebagai sultan ke 21 dari kerajaan Banten, Sultan Syaifuddin masih sangat muda (masih berumur 5 tahun) untuk memegang tampuk pemerintahan.
Keraton Kaibon
Flashback
Keraton Kaibon merupakan salah satu bangunan utama pada masa Kesultanan Banten (1526-1684), terpisah dari kompleks Keraton Surosowan sebagai pusat pemerintahan. Hal ini merupakan tradisi masyarakat Jawa dimana Keraton Kaibon merupakan tempat tinggal para istri  dan Putri-putri Kesultanan. Dengan kata lain yang lebih populer bahwa Keraton Kaibon adalah Keputrennya Kesultanan Banten. Terletak kurang lebih 2 km dari Pusat Pemerintahan Keraton Surosowan yang dikelilingi persawahan dan jalur transportasi sungai (atau lebih tepatnya kanal khusus yang dibuat pada waktu itu).
Keraton Kaibon menghadap ke Barat—Keraton Surosowan dan Masjid Agung Banten—yang didepannya terdapat kanal sebagai sarana transportasi menuju dan ke Keraton Surosowan. Kini, reruntuhan Keraton menjadi pusat bermain bagi anak-anak masyarakat lingkungan sekitar, seperti bermain bola atau sekedar tempat nongkrong. Sehingga tempat bersejarah ini dikawatirkan akan mengalami kerusakan yang lebih cepat bila tidak diisolasi layaknya peninggalan sejarah.
Keraton Kaibon: Keraton Kaibon Pada Tahun 1920-an
Dalam sejarah, Istana Keraton Kaibon ini dihancurkan oleh pemerintah belanda pada tahun 1832, bersamaan dengan Istana Surosowan. Asal muasal penghancuran keraton, menurut pemandu wisata dari Museum Purbakala Banten Obay Sobari, adalah ketika Du Puy, utusan Gubernur Jenderal Daendels meminta kepada Sultan Syafiudin untuk meneruskan proyek pembangunan jalan dari Anyer sampai Panarukan, juga pelabuhan armada Belanda di Teluk Lada (di Labuhan). Namun, Syafiuddin dengan tegas menolak. Dia bahkan memancung kepala Du Puy dan menyerahkannya kembali kepada Daen Dels yang kemudian marah besar dan menghancurkan Keraton Kaibon.
Present
Berbeda dengan kondisi keraton Surosowan yang boleh dibilang rata dengan tanah. Pada keraton Kaibon, masih tersisa gerbang dan pintu-pintu besar yang ada dalam kompleks istana. Pada keraton Kaibon, setidaknya pengunjung masih bisa melihat sebagin dari struktur bangunan yang masih tegak berdiri. Sebuah pintu berukuran besar yang dikenal dengan nama Pintu Paduraksa (khas bugis) dengan bagian atasnya yang tersambung, tampak masih bisa dilihat secara utuh. Deretan candi bentar khas banten yang merupakan gerbang bersayap.
Keraton Kaibon: Pintu Gerbang Utama
Di bagian lain, sebuah ruangan persegi empat dengan bagian dasarnya yang lebih rendah atau menjorok ke dalam tanah, diduga merupakan kamar dari Ratu Asyiah. Ruang yang lebih rendah ini diduga digunakan sebagai pendingin ruangan dengan cara mengalirkan air di dalamnya dan pada bagian atas baru diberi balok kayu sebagai dasar dari lantai ruangan. Bekas penyangga papan masih terlihat jelas pada dinding ruangan ini.
Arsitektur Keraton Kaibon ini memang sungguh unik karena sekeliling keraton sesungguhnya adalah saluran air. Artinya bahwa keraton ini benar-benar dibangun seolah-olah di atas air. Semua jalan masuk dari depan maupun belakang ternyata memang benar-benar harus melalui jalan air. Dan meskipun keraton ini memang didesain sebagai tempat tinggal ibu raja, tampak bahwa ciri-ciri bangunan keislamannya tetap ada; karena ternyata bangunan inti keraton ini adalah sebuah mesjid dengan pilar-pilar tinggi yang sangat megah dan anggun. Dan kalau mau ditarik dan ditelusuri jalur air ini memang menghubungkan laut, sehingga dapat dibayangkan betapa indahnya tata alur jalan menuju keraton ini pada waktu itu.
Keraton Kaibon: Sisa Reruntuhan Keraton
Keraton Kaibon mempunyai sebuah pintu besar yang dinamai pintu dalem. Di pintu gerbang sebelah barat menuju Masjid Kaibon terdapat tembok yang dipayungi sebuah pohon beringin. Pada tembok tersebut terdapat lima pintu bergaya Jawa dan Bali—Paduraksa dan Bentar. Apabila dibandingkan dengan arsitektur keraton Surusowan, Keraton Kaibon nampak lebih archaic, terutama bila dilihat dari rancang bangun pintu-pintu dan tembok keraton. Untuk menuju keraton terdapat empat buah pintu bentar, begitu pula halnya dengan jenis pintu gerbang menuju bagian dalam keraton.
Lokalitas tradisional Siti Hinggil pada keraton Jawa pada umumnya, di keraton Kaibon ini menjadi lokasi penempatan bangunan masjid, yakni di halaman kedua. Yang tersisa kini hanya bagian mihrabnya saja.
Keraton Kaibon: Papan Nama Keraton Kaibon
Untuk memasuki masjid harus melalui pintu Paduraksa. Dalam konsep arsitektur Hindu, pembedaan jenis pintu Bentar dan Paduraksa mengacu pada jenis atau fungsi bangunan sacral atau profan.
Karena tempatnya yang cukup mempesona dan memiliki historis yang tinggi, Keraton Kaibon tidak jarang digunakan sebagai tempat untuk membuat film, foto pernikahan, dan lain sebagainya.

No comments:

Post a Comment