Ditinjau dari namanya—Kaibon berarti Keibuan—keraton ini dibangun
untuk ibu Sultan Syafiuddin, Ratu Asyiah mengingat pada waktu itu, sebagai
sultan ke 21 dari kerajaan Banten, Sultan Syaifuddin masih sangat muda (masih
berumur 5 tahun) untuk memegang tampuk pemerintahan.
Keraton Kaibon |
Flashback
Keraton Kaibon merupakan salah satu bangunan utama pada masa Kesultanan
Banten (1526-1684), terpisah dari kompleks Keraton Surosowan sebagai pusat
pemerintahan. Hal ini merupakan tradisi masyarakat Jawa dimana Keraton Kaibon
merupakan tempat tinggal para istri dan
Putri-putri Kesultanan. Dengan kata lain yang lebih populer bahwa Keraton
Kaibon adalah Keputrennya Kesultanan Banten. Terletak kurang lebih 2 km dari
Pusat Pemerintahan Keraton Surosowan yang dikelilingi persawahan dan jalur
transportasi sungai (atau lebih tepatnya kanal khusus yang dibuat pada waktu
itu).
Keraton Kaibon menghadap ke Barat—Keraton Surosowan dan Masjid Agung
Banten—yang didepannya terdapat kanal sebagai sarana transportasi menuju dan ke
Keraton Surosowan. Kini, reruntuhan Keraton menjadi pusat bermain bagi
anak-anak masyarakat lingkungan sekitar, seperti bermain bola atau sekedar
tempat nongkrong. Sehingga tempat bersejarah ini dikawatirkan akan mengalami
kerusakan yang lebih cepat bila tidak diisolasi layaknya peninggalan sejarah.
Keraton Kaibon: Keraton Kaibon Pada Tahun 1920-an |
Dalam sejarah, Istana Keraton Kaibon ini dihancurkan oleh pemerintah
belanda pada tahun 1832, bersamaan dengan Istana Surosowan. Asal muasal
penghancuran keraton, menurut pemandu wisata dari Museum Purbakala Banten Obay
Sobari, adalah ketika Du Puy, utusan Gubernur Jenderal Daendels meminta kepada
Sultan Syafiudin untuk meneruskan proyek pembangunan jalan dari Anyer sampai
Panarukan, juga pelabuhan armada Belanda di Teluk Lada (di Labuhan). Namun,
Syafiuddin dengan tegas menolak. Dia bahkan memancung kepala Du Puy dan
menyerahkannya kembali kepada Daen Dels yang kemudian marah besar dan
menghancurkan Keraton Kaibon.
Present
Berbeda dengan kondisi keraton Surosowan yang boleh dibilang rata dengan tanah. Pada keraton Kaibon,
masih tersisa gerbang dan pintu-pintu besar yang ada dalam kompleks istana.
Pada keraton Kaibon, setidaknya pengunjung masih bisa melihat sebagin dari
struktur bangunan yang masih tegak berdiri. Sebuah pintu berukuran besar yang
dikenal dengan nama Pintu Paduraksa (khas bugis) dengan bagian atasnya yang
tersambung, tampak masih bisa dilihat secara utuh. Deretan candi bentar khas
banten yang merupakan gerbang bersayap.
Keraton Kaibon: Pintu Gerbang Utama |
Di bagian lain, sebuah ruangan persegi empat dengan bagian dasarnya
yang lebih rendah atau menjorok ke dalam tanah, diduga merupakan kamar dari
Ratu Asyiah. Ruang yang lebih rendah ini diduga digunakan sebagai pendingin
ruangan dengan cara mengalirkan air di dalamnya dan pada bagian atas baru
diberi balok kayu sebagai dasar dari lantai ruangan. Bekas penyangga papan
masih terlihat jelas pada dinding ruangan ini.
Arsitektur Keraton Kaibon ini memang sungguh unik karena sekeliling
keraton sesungguhnya adalah saluran air. Artinya bahwa keraton ini benar-benar
dibangun seolah-olah di atas air. Semua jalan masuk dari depan maupun belakang
ternyata memang benar-benar harus melalui jalan air. Dan meskipun keraton ini
memang didesain sebagai tempat tinggal ibu raja, tampak bahwa ciri-ciri
bangunan keislamannya tetap ada; karena ternyata bangunan inti keraton ini
adalah sebuah mesjid dengan pilar-pilar tinggi yang sangat megah dan anggun.
Dan kalau mau ditarik dan ditelusuri jalur air ini memang menghubungkan laut,
sehingga dapat dibayangkan betapa indahnya tata alur jalan menuju keraton ini
pada waktu itu.
Keraton Kaibon: Sisa Reruntuhan Keraton |
Keraton Kaibon mempunyai sebuah pintu besar yang dinamai pintu dalem. Di pintu gerbang sebelah
barat menuju Masjid Kaibon terdapat tembok yang dipayungi sebuah pohon
beringin. Pada tembok tersebut terdapat lima pintu bergaya Jawa dan Bali—Paduraksa
dan Bentar. Apabila dibandingkan dengan arsitektur keraton Surusowan, Keraton
Kaibon nampak lebih archaic, terutama
bila dilihat dari rancang bangun pintu-pintu dan tembok keraton. Untuk menuju
keraton terdapat empat buah pintu bentar, begitu pula halnya dengan jenis pintu
gerbang menuju bagian dalam keraton.
Lokalitas tradisional Siti
Hinggil pada keraton Jawa pada umumnya, di keraton Kaibon ini menjadi
lokasi penempatan bangunan masjid, yakni di halaman kedua. Yang tersisa kini
hanya bagian mihrabnya saja.
Keraton Kaibon: Papan Nama Keraton Kaibon |
Untuk memasuki masjid harus melalui pintu Paduraksa. Dalam konsep
arsitektur Hindu, pembedaan jenis pintu Bentar dan Paduraksa mengacu pada jenis
atau fungsi bangunan sacral atau profan.
Karena tempatnya yang cukup mempesona dan memiliki historis yang
tinggi, Keraton Kaibon tidak jarang digunakan sebagai tempat untuk membuat
film, foto pernikahan, dan lain sebagainya.
No comments:
Post a Comment