Membandingkan Gedung Sate dengan bangunan-bangunan pusat pemerintahan
(capitol building) di banyak ibukota negara sepertinya tidak berlebihan.
Persamaannya semua dibangun di tengah kompleks hijau dengan menara sentral yang
megah. Terlebih dari segi letak gedung sate serta lanskapnya yang relatif mirip
dengan Gedung Putih di Washington DC, Amerika Serikat. Dapat dikatakan Gedung
Sate adalah Gedung Putih-nya kota
Bandung.
Gedung Sate, dengan ciri khasnya berupa ornamen tusuk sate pada menara
sentralnya, telah lama menjadi penanda atau markah tanah Kota Bandung yang
tidak saja dikenal masyarakat di Jawa Barat, namun juga seluruh Indonesia
bahkan model bangunan itu dijadikan pertanda bagi beberapa bangunan dan
tanda-tanda kota di Jawa Barat. Misalnya bentuk gedung bagian depan Stasiun
Kereta Api Tasikmalaya. Mulai dibangun tahun 1920, gedung berwarna putih ini
masih berdiri kokoh namun anggun dan kini berfungsi sebagai gedung pusat
pemerintahan Jawa Barat.
Jika mengunjungi Gedung Sate di Jalan Dipenogoro Nomor 22, Bandung, dapat
ditemui sebuah tugu yang terbuat dari batu alam di halaman depannya. Pada batu
tersebut terdapat tulisan yang berbunyi “Dalam mempertahankan Gedung Sate
terhadap serangan pasukan Gurkha tanggal 3 Desember 1945, tujuh pemuda gugur
dan dikubur oleh pihak musuh di halaman ini. Bulan Agustus 1952 diketemukan
jenazah Suhodo, Didi, dan Muchtarudin, yang dimakamkan kembali di Taman Makam
Pahlawan Cikutra. Jenazah Rana, Subengat, Surjono, dan Susilo tetap berada di
sini.” Rupanya, ada jenazah yang masih terkubur di halaman gedung tersebut.
Meskipun tidak banyak orang yang mengetahuinya, kisah yang terkandung pada tugu
batu tersebut tidak akan pernah hilang dari sejarah.
Gedung Sate berdiri diatas lahan seluas 27.990,859 m², luas bangunan
10.877,734 m² terdiri dari Basement 3.039,264 m², Lantai I 4.062,553 m², teras
lantai I 212,976 m², Lantai II 3.023,796 m², teras lantai II 212.976 m², menara
121 m² dan teras menara 205,169 m².
Flashback
Gedung Sate didirikan pada 27 Juli 1920, gedung ini awalnya memang
dibangun sebagai pusat pemerintahan pada saat itu dimana Pemerintahan Belanda
menetapkan Kota Bandung sebagai Ibukota negeri jajahannya di Indonesia.
Pemilihan Kota Bandung didasarkan pada pertimbangan iklim yang cocok karena
Kota Bandung begitu sejuknya ditambah pemandangan alam yang indah. Konon, iklim
Kota Bandung saat ini senyaman Perancis Selatan di musim panas.
Dengan penetapan pusat pemerintah itu, maka dibangunlah Gedung Sate
atau Gouvernements Bedrijven
sebutannya di masa itu dengan perencanaan yang dibuat secara matang oleh suatu
tim yang diketuai Kolonel Purnawirawan V.L. Slors, beranggotakan antara lain Ir. J. Berger, arsitek muda kenamaan
lulusan Fakultas Teknik Delft Nederland, Ir. Eh. De Roo dan In G. Hendriks
serta pihak Gemeete van Bandoeng. (Website
Resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat)
Gedung Sate |
Selain itu, Gedung Sate juga merupakan hasil karya dan kreasi sebuah
tim yang terdiri dari Ir. J. Gerber,
arsitek muda kenamaan lulusan Fakultas Teknik Delft Nederland, Ir. Eh. De Roo
dan Ir. G. Hendriks serta pihak Gemeente van Bandoeng, diketuai Kol. Pur. V.L.
Slors. (AnneAhira/Wikipedia/Wisata Bandung)
Tim bertugas merencanakan dan membangun berbagai gedung perkantoran
yang merupakan pindahan dari keseluruhan departemen dan instansi lainnya yang
berjumlah empat belas dari Batavia ke Bandung, termasuk pembangunan komplek
perumahan untuk menampung sekitar 1.500 pegawai pemerintahan. Setelah berhasil
disusun perancanaan pembangunan GB, dilakukan peletakan batu pertama gedung GB
pada tanggal 27 Juli 1920 oleh Johana Catherina Coops, putri sulung Walikota
Bandung B. Coops dan Petronella Roelofsen, mewakili Gubernur Jenderal di
Batavia.
Pembangunan Gedung Sate melibatkan sekitar 2.000 pekerja, 150 orang
diantaranya pemahat atau ahli bongpay pengukir batu nisan dan pengukir kayu
berkebangsaan Cina yang berasal dari Konghu atau Kanton. Selebihnya adalah
tukang batu, kuli aduk, dan peladen yang merupakan pekerja bangunan yang
berpengalaman menggarap Gedong sirap (Kampus ITB) dan Gedong papak (Balai
Kota). Mereka adalah pendudukan dari kampung Sekeloa, Coblong, Dago, Gandok,
dan Cibarengkok.
Selama kurun waktu empat tahun lamanya, di awal tahun 1924 berhasil
diselesaikan Kantor Pusat PTT kemudian dilanjutkan dengan pembangunan induk
bangunan utama GB yang tuntas dikerjakan pada September 1924 termasuk bangunan
perpustakaan.
Dalam perjalanannya semula diperuntukkan bagi Departemen Lalulintas dan
Pekerjaan Umum, bahkan menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda setelah
Batavia dianggap sudah tidak memenuhi syarat sebagai pusat pemerintahan karena
perkembangannya, sehingga digunakan oleh Jawatan Pekerjaan Umum. Tanggal 3
Desember 1945 terjadi peristiwa yang memakan korban tujuh orang pemuda yang
mempertahankan Gedung Sate dari serangan pasukan Gurkha. Untuk mengenang ke
tujuh pemuda itu, dibuatkan tugu dari batu yang diletakkan di belakang halaman
Gedung Sate. Atas perintah Menteri Pekerjaan Umum pada tanggal 3 Desember 1970
Tugu tersebut dipindahkan ke halaman depan Gedung Sate.
Kisah itu berawal setelah pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan pada
tanggal 17 Agustus 1945 oleh Ir. Soekarno. Saat itu, Keadaan Republik Indonesia
begitu labil. Meskipun setelahnya kabinet pemerintahan telah dibentuk,
insiden-insiden kecil yang menjurus kepada pertempuran melawan tentara asing
kerap kali terjadi. Terutama, setelah datangnya tentara sekutu di Republik
Indonesia untuk menggantikan Jepang dan pada tanggal 4 Oktober 1945, Kota
Bandung mulai dimasuki oleh tentara sekutu. Sejak saat itu, para patriot yang
berada di kota Bandung harus berhadapan dengan tentara Jepang dan tentara
Sekutu.
Gedung Sate: Gedung Sate Tempo Dulu |
Saat itu, Gedung Sate dijadikan kantor pusat Departemen Perhubungan dan
Pekerjaan Umum. Tepatnya pada tanggal 20 Oktober 1945, Ir. Pangeran Noor
(Menteri Muda Perhubungan dan Pekerjaan Umum saat itu) meminta para pegawai
Departemen Perhubungan dan Pekerjaan Umum mengangkat sumpah setia kepada
Republik Indonesia sebagai bentuk perlawanan terhadap tentara asing di Bandung.
Tentunya, Gedung Sate menjadi prioritas untuk di pertahankan bagi mereka yang
telah mengangkat sumpah setia-nya.
Pada tanggal 24 November 1945, Kota Bandung mulai di guncang
pertempuran dan Gedung Sate mulai dikepung oleh anggota tentara sekutu yakni
tentara Gurkha (tentara dari Inggris) dan NICA (Netherlands Indiƫs Civil
Administration). Suatu kelompok yang bernama Gerakan Pemuda Pekerjaan Umum
mencoba untuk mempertahankan Gedung Sate dibantu oleh empat puluh orang dari
pasukan Badan Perjuangan. Sayangnya, Gedung tersebut hanya dipertahankan oleh
21 orang dari anggota Gerakan Pemuda Pekerjaan Umum setelah bantuan dari
pasukan Badan Perjuangan ditarik kembali pada tanggal 29 November 1945.
Tanggal 3 Desember 1945, setelah diadakan pembagian tugas oleh ke-21
anggota Gerakan Pemuda PU tersebut, pada pukul 11.00 siang WIB, Tentara Gurkha
dan tentara NICA menyerbu dan mengepung Gedung Sate dari berbagai penjuru
dengan persenjataan yang berat dan modern. Meskipun begitu, ke-21 anggota
Gerakan Pemuda PU ini tak mau menyerah. Mereka melakukan perlawanan secara
mati-matian dengan segala kekuatan untuk mempertahankan Gedung Sate. Terjadilah
pertempuran yang tidak seimbang antara Gerakan Pemuda PU melawan tentara Gurkha
dan NICA.
Merasa tidak seimbang, Gerakan Pemuda PU membutuhkan bantuan pasukan.
Karena hubungan telepon telah terputus, maka seorang pemuda bernama Didi
Hardianto Kamarga diutus sebagai kurir untuk meminta pasukan bantuan. Sayangnya,
sebelum tugas terlaksana, Didi Hardianto Kamarga gugur terlebih dahulu. Hingga
pada akhirnya, mereka harus menghadapi pertempuran yang tidak seimbang ini.
Dengan semangat yang berapi-api sebagai negara yang baru saja merdeka.
Dengan persenjataan dan kekuatan seadanya, mereka berjuang mati-matian untuk
menjaga Gedung Kantor yang menjadi salah satu lembaga kekuasaan Pemerintah
Republik Indonesia. Ikrar sumpah setia mereka kepada Republik Indonesia telah
dipenuhi dengan mempertaruhkan nyawanya untuk menjaga dan mempertahankan Gedung
Sate.
Pada pukul 14.00 WIB, Pertempuran yang tidak seimbang tersebut berakhir
dan Gedung Sate akhirnya jatuh ke tangan musuh. Dalam pertempuran tersebut,
baru diketahui dari 21 orang pemuda tujuh diantaranya hilang. Satu orang luka berat
dan beberapa orang lainnya luka ringan. Pada awalnya, tidak diketahui kemana tujuh orang hilang tersebut.
Gedung Sate: Tugu 3 Desember |
Pada bulan Agustus 1952, barulah dilakukan pencarian tujuh orang pemuda
yang hilang tersebut oleh suatu tim yang sebagian besar adalah mereka yang
sebelumnya ikut mempertahankan Gedung Sate. Hasilnya, hanya ditemukan tiga
kerangka yang diketahui sebagai jenazah Didi Hardianto Kamarga, Suhodo dan
Muchtarudin yang kemudian dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.
Ke-empat jenazah lainnya yang tidak ditemukan adalah Rio Susilo, Subengat, Rana, dan Surjono.
Sebagai tanda penghargaan bagi mereka yang jenazah-nya tidak ditemukan
ini, dibuatlah dua tanda peringatan. Satu dipasang didalam Gedung Sate dan
lainnya berupa tugu batu yang terbuat dari batu alam dengan tujuh nama mereka,
yang telah gugur untuk mempertahankan Gedung Sate, tertulis disana.
Tanggal 3 Desember 1951, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga saat itu,
Ir. Ukar Bratakusumah, menyatakan bahwa ketujuh pemuda pahlawan tersebut
dihormati sebagai Pemuda yang Berjasa.
Tanda penghargaan tersebut disampaikan kepada para keluarga mereka yang
ditinggalkan.
Sepuluh tahun kemudian, tertanggal 2 Desember 1961, Menteri Pertama Ir.
H. Djuanda memberikan Pernyataan
Penghargaan tertulis kepada para pemuda yang gugur. Ditetapkanlah pada
setiap tanggal 3 Desember sebagai Hari Bhakti Pekerjaan Umum. Di kalangan
Departemen Pekerjaan Umum, peristiwa tanggal 3 Desember 1945 tersebut dikenal
sebagai Jiwa Korsa Departemen Pekerjaan
Umum.
Present
Gedung Sate boleh dikatakan sebagai ikon utama kota Bandung dan bahkan
Jawa Barat. Gedung klasik nan megah yang merupakan peninggalan Belanda ini
telah lama difungsikan sebagai kantor Gubernur Jawa Barat.
Kemegahan gedung ini tetap terpelihara dan terjaga hingga kini dengan
pembenahan dan pengembangan di lingkungan sekitarnya. Kawasan kantor gubernur
ini tidak hanya menjadi pusat pemerintahan Jawa Barat. Akan tetapi, juga
sebagai tujuan wisata lokal bersejarah bagi wisatawan. Baik wisatawan domestik,
maupun wisatawan mancanegara.
Gedung Sate: Gedung Sate pada Tahun 1924 |
Banyak kalangan arsitek dan ahli bangunan menyatakan Gedung Sate adalah
bangunan monumental yang anggun mempesona dengan gaya arsitektur unik mengarah
kepada bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa, (Indo Europeeschen architectuur
stijl), sehingga tidak mustahil bila keanggunan Candi Borobudur ikut mewarnai
Gedung Sate.
Arsitektur gedung yang dijadikan pusat pemerintahan ini merupakan
perpaduan seni arsitektur Eropa dan arsitektur tradisional Indonesia.
Kecantikan dan kemegahan gedung ini banyak mengundang opini positif berupa
pujian dan perasaan kagum dari berbagai kalangan.
Kuat dan utuhnya Gedung Sate hingga kini, tidak terlepas dari bahan dan
teknis konstruksi yang dipakai. Dinding Gedung Sate terbuat dari kepingan batu
ukuran besar (1×1×2 m) yang diambil dari kawasan perbukitan batu di Bandung
timur sekitar Arcamanik dan Gunung Manglayang. Konstruksi bangunan Gedung Sate
menggunakan cara konvensional yang profesional dengan memperhatikan standar
teknik.
Gerber sendiri memadukan beberapa aliran arsitektur ke dalam
rancangannya. Untuk jendela, Gerber mengambil tema Moor Spanyol, sedangkan untuk bangunannya adalah Rennaisance Italia. Khusus untuk menara,
Gerber memasukkan aliran Asia, yaitu gaya atap pura Bali atau pagoda di Thailand.
Di puncaknya terdapat tusuk sate
dengan enam buah ornamen sate (versi lain menyebutkan jambu air atau melati),
yang melambangkan enam juta gulden—jumlah biaya yang digunakan untuk membangun
Gedung Sate.
Fasade (tampak depan) Gedung Sate ternyata sangat diperhitungkan.
Dengan mengikuti sumbu poros utara-selatan (yang juga diterapkan di Gedung
Pakuan, yang menghadap Gunung Malabar di selatan), Gedung Sate justru sengaja
dibangun menghadap Gunung Tangkuban Perahu di sebelah utara.
Kesempurnaan megahnya Gedung Sate dilengkapi dengan Gedung Baru yang
mengambil sedikit gaya arsitektur Gedung Sate namun dengan gaya konstektual
hasil karya arsitek Ir. Sudibyo yang dibangun tahun 1977 diperuntukkan bagi
para Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga legislatif daerah.
Gedung Sate sejak tahun 1980 dikenal dengan sebutan Kantor Gubernur
karena sebagai pusat kegiatan Pemerintah Propinsi Jawa Barat, yang sebelumnya
Pemerintahaan Propinsi Jawa Barat menempati Gedung Kerta Mukti di Jalan Braga,
Bandung.
Gedung Sate: Gedung Sate Tempo Dulu |
Ruang kerja Gubernur terdapat di lantai I bersama dengan ruang kerja
Wakil Gubernur, Sekretaris Daerah, Para Assisten dan Biro. Saat ini Gubernur di
bantu oleh tiga Wakil Gubernur yang menangani Bidang Pemerintahan, Bidang
Ekonomi dan Pembangunan, serta Bidang Kesejahteraan Rakyat, seorang Sekretaris
Daerah dan empat Asisten yaitu Asisten Ketataprajaan, Asisten Administrasi Pembangunan,
Asisten Kesejahteraan Sosial, dan Asisten Administrasi.
Namun tidak seluruh Asisten menempati Gedung Sate. Asisten
Kesejahteraan Sosial dan Asisten Administrasi bersama staf menempati Gedung
Baru.
Di bagian timur dan barat terdapat dua ruang besar yang akan
mengingatkan pada ruang dansa (ball room) yang sering terdapat pada bangunan
masyarakat Eropa. Ruangan ini lebih sering dikenal dengan sebutan aula barat
dan aula timur, sering digunakan kegiatan resmi. Di sekeliling kedua aula ini
terdapat ruangan-ruangan yang ditempati beberapa biro dengan stafnya.
Paling atas terdapat lantai yang disebut Menara Gedung Sate, lantai ini
tidak dapat dilihat dari bawah, untuk menuju ke lantai teratas menggunakan elevator atau dengan menaiki tangga
kayu.
Di kawasan gedung perkantoran gubernur ini dilengkapi taman hijau yang
luas dan memberi kesan sejuk. Taman tersebut terawat dan tertata apik sehingga
menambah keindahan dan kecantikan gedung ini. Pemandangan gedung yang elok
dengan taman yang asri ini kerap dijadikan tempat wisata.
Gedung Sate telah menjadi salah satu tujuan obyek wisata di kota Bandung.
Khusus wisatawan mancanegara banyak dari mereka yang sengaja berkunjung karena
memiliki keterkaitan emosi maupun sejarah pada Gedung ini. Keterkaitan emosi
dan sejarah ini mungkin akan terasa lebih lengkap bila menaiki anak tangga satu
per satu yang tersedia menuju menara Gedung Sate. Ada enam tangga yang harus
dilalui dengan masing-masing sepuluh anak tangga yang harus dinaiki.
Khusus di hari minggu lingkungan halaman Gedung Sate dijadikan pilihan
tempat sebagian besar masyarakat untuk bersantai, sekedar duduk-duduk menikmati
udara segar kota Bandung atau berolahraga ringan.
No comments:
Post a Comment